Manifestasi Gelap Sepi
MANIFESTASI GELAP SEPI
karya Zulkifli Muhammad
Ini adalah sebuah catatan harian dari seseorang yang menyebut dirinya gelap, saya tulis dari usaha saya saat tidak sengaja melihatnya dari buku catatannya pada suatu hari yang entah. Saya susun sesuai dengan ingatan yang masih tersimpan dengan satu alasan bahwa kalian juga harus membacanya;
Kepada gelap untuk gelap
(sebuah catatan kecil tentang gelap dan sepi)
Aku besar dengan harapan ibu yang menginginkan aku menjadi orang hebat, tapi memang hidup selalu berjalan tidak sesuai dengan harapan. Jadilah aku tumbuh dengan keinginan sendiri untuk menjadi apa saja. Menjadi apa saja bagi kehidupan yang berjalan denganku bukan berarti bebas untuk menjadi apapun yang aku mau, tapi menjadi apa saja yang bisa kukerjakan agar kehidupan tetap mau berjalan bersamaku.
Ingatan membawa pada waktu-waktu dimana kehidupan bermula dari pertanyaan “Kalau besar mau jadi apa?”
Waktu itu kawan-kawanku ingin menjadi polisi atau tentara dan kawan yang lain ingin menjadi istri polisi atau istri tentara, dan beberapa yang lain ingin menjadi negara padahal guru waktu itu menginginkan kami menjadi sesuatu yang besar bukan menyeramkan.
Besar bagiku berarti mempunyai cita-cita yang sangat laki-laki seperti kawan yang lain, dan karena itu aku ingin menjadi cerpenis sebab itu sangat laki-laki. Tatapan semua orang termasuk guruku mengejek bahwa menjadi cerpenis adalah ide yang sangat konyol.
Selain besar dengan harapan dan tumbuh dengan keinginan menjadi apa saja, sepertinya hidupku hari ini tidak terlepas dengan marah-marah guruku yang mengangap setiap pendapatku adalah kebodohan hanya karena tidak sesuai dengan buku pelajaran. Waktu itu aku pernah dimarahi hanya karena menggolongkan ibu dalam sepsies yang dapat membelah diri. Aku dikeluarkan dari kelas hanya karena tidak mejawab amuba, padahal di rumah aku selalu melihat ibu menjadi lebih dari dua. Ibu bisa menjadi ibu yang sesekali waktu menjadi ayah, menjadi dapur, menjadi kasur, menjadi mesin pencuci pakaian, juga beberapa kali menjadi jaminan pinjaman untuk makan beberapa hari kedepan. Ibu bisa menjadi apa saja yang kehidupanku butuhkan.
Pernah juga saat itu, pada sebuah waktu yang membeku dalam ingatan karena ibuku dipanggil guru hanya karena persoalan menggambar. Hari itu kami disuruh menggambar ayah sebab hari itu adalah hari ayah. Aku dianggap melecehkan perintah hanya karena menggambar ayah dengan empat kaki sebab memang aku tidak pernah melihat ayah. Konon katanya beberapa hari sebelum kehidupan memaksaku lahir, ayah pergi mengejar matahari. Aku membenci terang sejak aku lahir.
Ada saat dimana aku bertanya kepada ibu. “Ibu, Ayah kemana bu?”
“Tugas Negara” sahut Ibu yang sedang mengeringkan sisa-sisa malam
“Ayahmu mu nasionalisme yang membingungkan, kelak ia akan pulang”.
Aku sekarang besar, dalam artian aku tumbuh dari kecil ke tidak kecil lagi. Aku terjebak menjadi penulis. Orang-orang bilang kalau aku belum menjadi apa-apa sebab sebagai penulis aku belum menjadi. Itu ada benarnya juga karena aku hanya menulis untuk diriku sendiri. Dan aku menulis di dalam gelap tentang sebuah gelap dan memang hanya gelap.
Dalam gelap kutemukan kesepian yang begitu nyaring lengkingnya. Aku suka gelap dan sepi dan aku membenci terang sejak lahir.
Memang menjadi penulis adalah perjalanan sunyi, setidaknya untuk diriku yang menulis untuk diri sendiri. Pernah aku meragukan diri, apakah memang aku seorang penulis sebab hanya punya satu pembaca yaitu aku. Aku menjadi penulis dan pembaca sekaligus. Rasanya sudah bisa menggolongkan aku dalam spesies yang dapat membelah diri, berdampingan dengan ibu. Ah ibu ingatanku melesat pada waktu dimana kehidupan memilih untuk tidak lagi berjalan bersamanya.
Aku bertambah besar dan ibu menjadi usia. Menyusut dan menjadi renta. Agar aku menjadi besar, ibu meminjamkan dirinya pada kehidupan dan begitulah kehidupan, sebagian ibu lupa dikembalikan. Tersisalah sebagian yang sakit-sakitan.
Hari-harinya menjadi gombal pesing dan aliran infus serta cemas luar biasa. Hal yang paling menyedihkan ketika kamu besar adalah melihat ibumu menyusut kecil dan ringkih. Dan yang paling menyedihkan lagi jika kau seorang anak adalah melihat ibumu terbujur menderita karena sisa-sisa membesarkanmu. Ia hanya punya ingatan bahwa ia masih perempuan, ia masih seorang ibu. Aku memilih mematikan lampu setiap menjenguknya dikamarnya, hanya karena aku tidak mempunyai ketabahan yang kuat dalam melihat penderitaan seperti ibu.
Setiap penderitaan memang harus berakhir atau setidaknya harus diakhiri. Dan gelap waktu itu menunaikan tugas untuk mengakhiri ibuku. Sedih adalah aku hari itu, tapi setidaknya ibuku mati dalam gelap sehingga aku tidak perlu melihat ajal merebut wajahanya yang indah itu saat kuputuskan membekap wajahnya agar oksigen terputus dari dirinya. Agar kehidupan terputus untuk menyiksanya.
0 komentar