NASKAH ESOK KITA PULANG LABNAS 2020: DEWA ADHYA SATRIA

by - September 24, 2020

 Esok Kita Pulang

oleh Dewa Adhya Satria



DIPUBLIKASIKAN UNTUK  LABORATORIUM NASKAH 2020 DENGAN KONSEP PENULISAN NASKAH

Di dalam suatu ruangan tertutup, berdiri 3 orang yang memiliki ciri khas masing-masing. Si buta yang mudah menurut, suka mendengarkan celotehan seorang Dungu. Dungu yang sok tau tentang berbagai permasalahan yang ada saat ini, dan Gagap orang cerdas namun tidak dapat mengungkapkan berbagai pendapatnya.

Percakapan berawal membahas berbagai perbincangan politik yang kian kesini kian beberbentuk represif. Yang menjadi persimbolan satyr akan pemerintah saat ini. Dan berbagai permasalahan yang menjadi lelucon untuk saat ini.

 Perbincangan mengarah pada kasus kasus yang sedang ramai 5 tahun dalam dekade ini. Banyak kebobrokan yang bisa ditemukan di sudut sudut periode tertentu. Pada zaman yang kian mudah memperoleh informasi dari manapun. Mencari kebarnaran dapat ditemukan dimanapun, dan janji semakin diumbar-umbar setelanjang mungkin.

 

Aktor: 

 

Buta [28 tahun]: memiliki ciri fisik manusia namun berhidung anjing. seorang yang peka terhadap suatu permasalahan namun melihat segala hal tanpa membandingkan dengan aspek lain, tegas, dan berhati lembut.

 

Dungu [26 tahun]: memiliki ciri fisik manusia namun memiliki tanduk kerbau. Terdapat masalah pendengaran.

Orang yang tanggap pada permasalahan, emosional, kuat dengan argumennya, tong kosong nyaring bunyinya.

 

Gagap [21 tahun]: memiliki ciri fisik manusia namun bermulut bebek. Berbicara dengan buncah/gagap.

penurut, cerewet, tidak berpendirian kuat.

 

Orang Asing 1 [28 tahun]: memiliki ciri fisik bertelinga anjing.

Memiliki sifat yang sama dengan Buta namun memiliki pandangan yang lebih luas terhadap permasalahan tanpa pada satu pandangan.

 

Orang Asing 2 [26 tahun]: memiliki ciri fisik seperti manusia namun berkaki kerbau. Memiliki sifat yang sama dengan Dungu, hanya saja lebih realistis.

 

Orang Asing 3 [21 tahun]: memilliki ciri fisik seperti manusia namun memiliki lengan seperti bebek. sifat yang sama dengan Gagap, namun lebih memilih diam dan banyak bertindak ketimbang banyak bicara.

 

Babak 1.

 

Adegan 1.

Ruangan gelap, terdapat 3 cahaya yang menyorot yaitu menuju pada tengah panggung, kanan panggung, dan kiri panggung. Terdapat kursi sofa satu buah pada kanan panggung, meja ditengah panggung, dan diatas meja tersebut terdapat lampu meja klasik, teko dan gelas. Terdapat televisi diatas meja pendek di bagian kiri panggung yang menghadap pada sofa.

Dua orang berdiri di di panggung yaitu Buta dan Gagap, dan terlihat Buta yang sedang duduk pada sofa tersebut.  

[lampu pada kiri panggung menyala, tampak Gagap dan Dungu bermain ular Tangga pada lantai panggung, pada kiri ruangan terdapat tv yang menyala]

 

Gagap: [melempar dadu, gagap] “Yes! Dapat angka 6!

 

Dungu: “Kebetulan aja itu!”

 

Gagap: [memindahkan pionnya, gagap] “Menang! Yee aku menang!”

 

Dungu: “Woi kok bisa menang! Itu kamu udah melewati finishnya, berarti kamu kalah”

 

Gagap: [gagap] “Kok bisa kalah”

 

Dungu: “Yayalah kamu kalah, kan kamu harusnya dibutuhkan 4 langkah untuk menang, tapi kamu dapet 6, berarti keluar finishnya dong sampai ke luar papannya sendiri!”

 

Gagap: [gagap] “Kok bisa gitu aturannya?!”

 

Dungu: “Anggep aja finish ini merupakan kesuksesan kamu, dan setiap langkah yang pionmu ambil itu pengalaman yang kamu dapet. Dengan begitu, setiap kau menemukan angka dadu semakin banyak, otomatis kau semakin mencari cara instan dan meninggalkan beberapa pengalaman yang harusnya kau ambil dahulu”

 

Gagap: [gagap] “Jadi kalau keluar finish itu gimana maksudnya?!”

 

Dungu: “Yasudah kamu memilih meninggalkan kesuksenmu dan memilih keluar dari permainan!”

 

Gagap: [gagap] “Jadi keluar dari permainan dalam hidup gitu maksudmu?”

 

Dungu: “Udah intinya kamu udah kalah!”

 

Gagap: [gagap] “Tidak bisa begitu! Kan kamu. . .”

 

Dungu: “Kalah, kalah, kamu sudah kalah!” [menertawai Gagap]

 

Gagap: [gagap] “Eh gabisa begitu dong, kamu . . .”

 

Dungu: “Masih mau ngelawan? Serunduk lo! Serunduk nih!” [menyodorkan tanduknya pada Gagap]

 

[lampu kanan panggung menyala, nampak Buta yang sedang duduk]

 

Buta: “Udah-udah! Yang main itu tangannya, mulutnya gausah ikutan!”

 

Gagap: [gagap] “Ininih Buta, si Dungu mainnya curang”

 

Dungu: “Kok curang, kamunya aja yang kalahan!”

 

Buta: “Udah-udah, cuman permainan ular tangga, ributnya sampai ular punya   tetangga sebelah ikut kedengaran”

 

Gagap: [gagap] “Lah, sejak kapan ular punya telinga”

 

Dungu: “Masa gitu aja kamu ngga paham? Jangankan cuman telinga, ularnya juga punya lekukkan tubuh yang seksi buat menggoda tetangga itu”

 

Gagap: [gagap] “Oh ular yang itu!” [tertawa]

 

[suara televisi meninggi]

 

Buta: [hidungnya mendengus] “Suara apa itu yang sangat berisik sekali di televisi   Gagap? Bisakah kau ceritakan padaku?”

 

Gagap: [gagap] “Itu acara masak-masak kuliner gitu”

 

Buta: “Oh, lagi masak apa itu?”

 

Gagap: “Masak spaghetty Buta”

 

Buta: “Padalan banyak dari memiliki makanan dengan ciri khasnya”

 

Dungu: “Itu kan dari chefnya sendiri berkulit sawo mateng, cukup menjadi jadi ciri khas bukan?”

 

Gagap: [gagap] “Benar juga ya. . .”

 

Dungu: [menyela] “Udah-udah ganti aja!”

 

[saluran tersebut diganti oleh Dungu]

 

[televisi bersuara rakyat demo]

 

Buta: “Ini acara televisi apa?”

 

Gagap: [gagap] “Berita Buta”

 

Buta: “Berita tentang festival perayaan hari apa gitu ya?”

 

Gagap: [gagap] “Sepertinya iya”

 

Buta: “Jadi bagaimana rupa mereka Dungu?”

 

Gagap: [menyentuh tubuh Dungu]

 

Dungu: [menoleh pada gagap] “Apa?”

 

Gagap: [menuding pada arah Buta]

Dungu: “Apa Buta?”

 

Buta: “Jadi bagaimana rupa mereka Dungu? Yang di televisi tersebut?”

 

Dungu: “Ohh! Alisnya meruncing seperti macan yang mengincar mangsanya. Bibirnya moncong bagai kadal yang sedang kepanasan. Raut mukanya kusut seperti tikus yang kelaparan”

 

Buta: “Seperti macan berburu? Kadal kepanasan? Tikus kelaparan? Itu bagaimana   rupanya?” [buta semakin penasaran]

 

Dungu: “Yaa pokoknya seperti itulah.”

 

[Suara gebrakan semakin jelas terdengar pada televisi yang mereka tonton]

 

Gagap: [gagap] “Sepertinya mereka sangat geram buta”

 

Buta: “Bukankah menurut kalian jika melihat masalah seperti itu dan menciptakan     kegaduhan merupakan suatu permasalahan baru?”

 

Buta: [Buta menuangkan air pada teko ke gelas] “Maka ibaratkan saja pada air ini, aku menambah air pada gelas tersebut, atau aku mengurangi air dalam teko ini?”

 

Gagap: [gagap] “Apa hubungannya dengan hal yang aku ungkapkan?”

 

Buta: “Jawab dulu saja”

 

Gagap: “Tergantung untuk apa kau menuangkan air tersebut”

 

Buta: “Maka minumlah air tersebut”

 

Gagap: [meminum air pada gelas] “Dan? Kenapa?”

 

Buta: “Siapa yang mengisi suatu kebutuhan, dan siapa yang mengurangi suatu     kedisiplinan? Tindakan masyarakat yang menciptakan norma? Atau norma   yang menciptakan tindakan pada masyarakat?”

 

[Buta dan Gagap terdiam sejenak, dan Dungu masih menyimak televisi]

 

Gagap: [gagap] “Iya juga sih, tapi kan suatu hukum tercipta . . .”

 

[Dungu menyela]

 

Dungu: “Lihatlah mereka, masyarakat yang haus akan keadilan. Rupa perlawan secara represif tanpa menghadirkan solusi.”

 

Gagap: [gagap] “Bicara apaan kamu dungu?”

 

[Seperti tanpa mendengar ucapan Buta, Dungu melanjutkan ucapannya.]

 

Dungu: “Negeri dengan berbagai permasalahan seperti iniakan menciptakan masyarakat yang kritis tanpa menciptakan masyarakatyang solusional”

 

Gagap: [gagap] “Jadi menurutmu apakah itu salah?”

 

Dungu: [Dungu tak mendengar perkataan Gagap] “. . .”

 

Gagap: [gagap] “Apakah itu salah?!” [mengulang dengan nada yang keras]

 

Dungu: “Kamu ngomong kecil banget!”

 

Buta: “Kamu aja yang budeg!”

 

Gagap: [gagap] “Lanjut!”

 

Gagap: [menambahi, gagap] “Jadi bagimana?! Itu salah?!”

 

Dungu: “Tentu saja tidak”

 

[Buta dan gagap menunggu jawabannya]

 

Buta: ‘Woi kenapa woi?!’

 

Dungu: “Kirain kalian ngga nanya”

 

Gagap: [gagap] “Udah lanjut”

 

Dungu: “Mari jawab jawab pertanyaan itu dengan pertanyaan itu dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode 4 tahun terakhir”

 

Buta: “Emang kenapa 4 tahun terakhir?”

 

[seekor hewan pelanduk kancil yang berdarah-darah berlari dari kanan panggung dan keluar melalui kiri panggung]

 

Dungu: [mengingat-ingat] “Ini, ini, apa namanya…hmm hewan yang suka nyuri        timun apa namanya?”

 

Buta: “Apa?! Kancil?!”

 

Dungu: “Apa? Kalo ngomong yang keras dong!”

 

Buta: “Kancil! K.. a… n… c… i… l! Kancil!”

 

Dungu: “Oh iya, kimcil!”

 

Gagap: [ngeplak kepala Dungu, gagap] “Kancil budeg!”

 

Dungu: “Oh iya, maaf maaf… iya itu Kancil!”

 

Gagap: [gagap] “Terus kenapa itu si Kancil?”

 

Dungu: [mengambil hamburan kertas yang berada pada celana dalamnya] “Ini ini, aku bacakan ya. Duduk yang manis anak-anak”

 

Buta dan Gagap: [memperbaiki cara duduknya]

 

Dungu: “Nah! Pinter!”

 

[Dungu tampak kebingungan dengan kertas yang akan dibacanya]

 

Dungu: “Ini tulisan bahasa mana sih! Rusia apa ya!”

 

Gagap: [mengambil kertas yang dibawa Dungu, gagap] “Kebalik goblok!”

 

Dungu: [membalik lalu membaca kertas yang ada pada genggamannya] “Suatu siang hari yang panas, terdapat Kancil yang sedang bertani”

 

Gagap: [gagap] “Sejak kapan Kancil bertani?!”

 

Buta: “Bukannya Kancil itu nyolong ketimun ya!”

 

Dungu: “Ini Kancil yang tidak mengambil pergaulan yang salah”

 

Buta: “Ohh, paham! Lanjut!”

 

Dungu: “oke lanjut ya, setelah itu Kancil yang baik ini pulang bertani tuh, dia melihat ada macan yang seenaknya sendiri ngambil lahan orang dan dijadikan buat bermain-main golongan Macan dan menurut Kancil itu ilegal”

 

Gagap: [gagap] “Terus-terus!”

 

Dungu: “Nah, Kancil yang geram melihat itu, Kancil mengajak Rusa, Kidjang, Kelinci dan lain sebagainya untuk mendukung opininya. Tidak diduga Kancil dan teman-teman lainnya mendapat ancaman Macan yang akan menerkamnya jika terus berusaha mengusik Macan. Karena Ancaman tersebut, Kancilpun melapor pada Badak, karena tentu saja Badak merupakan hewan yang memiliki cula dan kulit yang lebih tebal ketimbang macan.

 

Gagap: [gagap] “Jadi seru nih, Badak bakal diadu sama macan! Lanjut-lanjut”

 

Dungu: “Belum sampai ke duel nih, Badak yang sudah berjanji untuk melabrak macan malah tidak segera di labrak tuh”

 

Gagap: [gagap] “Wah gaseru, gajadi duel!”

 

Buta: “Terus-terus gimana?”

 

Dungu: “Para Macan semakin murka melihat Kancil dan golongannya yang terus-terusan membuat aksi untuk melawan Macan, Maka segerombolan Macan itupun langsung menerkam Kancil dan golongannya saat di pagi hari”

 

Buta: “Dan?”

 

Dungu: “Tamat”

 

Gagap: [gagap] “Udah gitu aja?!”

 

Dungu: “Udah, ya mau diapain? Kamu berharap punya happy ending?”

 

Gagap: [gagap] “Kasian ya Kancil, di lagu sampai ceritanya selalu ngenes!”

  

Adegan 2.

 

[suara dentuman mobil menabrak tiang listrik]

 

[tiba-tiba lampu padam]

 

Buta: [kaget] “Suara apa itu?”

 

Dungu: “Loh he kok lampunya mati?!“

 

Gagap: [gagap] “Kamu dimana Dungu?”

 

Buta: “Kalian kenapa sih?!”

 

Gagap: [gagap] “Ini gelap Buta!”

 

[Suara barang terjatuh]

 

Dungu: “Aduh! Ini siapa naruh meja disini!”

 

Buta: “Kalian ngerasain buta sekali aja sebingung ini ya, bagaimana kalo buta       selamanya. Mungkin si Dungu ini udah jalan ke jurang, si Gagap udah jalan ke   hutan diterkam macan”

 

[Dungu dan Gagap masih kacau oleh keadaan yang terjadi saat itu]

 

Buta: “Kalian semua diam!”

 

[Suasana hening seketika]

 

Dungu: “Terus kita harus ngapain”

 

Gagap: [gagap] “Panik lah!”

 

[Dungu dan Gagap kembali panik dan berlarian]

 

Gagap: [gagap] “Eh goblok ini tandukmu nabrak aku Dungu!”

 

Dungu: “Salah siapa suruh panik!”

 

Buta: “Mending salah satu dari kalian keluar dan melihat asal suara dentuman tadi!”

 

Gagap: [gagap] “Aku gaberani sendirian! Gelap!”

 

Dungu: “sama aku juga takut!”

 

Buta: “Dasar pengecut kalian!”

 

Dungu: “kalo kamu berani kenapa kok ngga kamu sendiri aja yang ngeliat Buta!”

 

Buta: “Ini kalian nyindir atau bagaimana maksudnya coba?”

 

Dungu: “Oh iya lupa, kan kamu buta”

 

Gagap: [gagap] “Yang mati lampunya, lahkok otak Dungu mati juga”

 

Buta: “Udah-udah! Kalo gitu mending kalian berdua yang liat situasi diluar”

 

Gagap: [gagap] “Yaudah ayo Dungu!”

 

Dungu: “Kamu duluan!”

 

Gagap: [gagap] “Yaudah lah ayo barengan tangan kamu mana Dungu?”

 

Buta: “Ini siapa ngeraba-ngeraba aku?”

 

Gagap: [gagap] “Eh maaf-maaf salah pegang”

 

Dungu: “Bisa aja kamu ini alasannya!”

 

Buta: “Udah-udah cuman mau liat aja leren bertengkar lo”

 

Gagap: “yaudah ayo cepet Dungu!”

 

[Dungu dan Gagap keluar panggung]

 

Gagap: [berteriak dari luar panggung, gagap] “Ada mobil nabrak tiang listrik Buta!”

 

Buta: “Ha? Mobil?”

 

Gagap: [berteriak dari luar panggung, gagap] “Iya Buta!”

 

Buta: [hidungnya mendengus] “Lah mobil siapa?!”

 

Gagap: [berteriak dari luar panggung, gagap] “Tidak tau buta! Tapi mobil mahal”

 

Dungu: [berteriak dari luar panggung] “Sepertnya seorang tersangka yang mau menghindari suatu pengadilan!”

 

Buta: “Emang siapa tersangka yang mau menghindari pengadilan?”

 

Gagap: [berteriak dari luar panggung, gagap] “ituloh! Namanya. . .”

 

[suara gagap terputus]

 

Buta: “Halo… kok langsung pada diam semua?”

 

[Suasana masih hening]

 

Buta: “Halo? Eh kalian ini kemana tho?”

 

[Lampu tiba-tiba menyala]

 

[Duduk dua orang di tempat itu, orang yang menyerupai buta duduk dengan sofa satu orang yang sama secara berhadapan]

 

Orang Asing 1: “Gausah teriak-teriak aku tidak budeg!”

 

Buta: [hidungnya mendengus] “Dungu apa itu kamu?”

 

Orang asing 1: “Enak aja kamu ngesama-samain Dungu si pinter membuat bualan   yang tidak bisa mendengarkan alasan orang lain itu sama aku!”

 

Buta: “Loh, gagap? Cara bicaramu udah lancar?”

 

Orang Asing 1: “Malah disamain sama Gagap, ngga mungkinlah aku Gagap. Gagap mana mungkin bisa menyampaikan sesuatu hal yang lebih logis   ketimbang aku!”

 

Buta: “Kan di tempat ini hanya ada kita bertiga. jadi… mesti kamu maling! Maling!   Maling!

 

Orang Asing: “Ndasmu kui maling!”

 

[Buta terdiam sejenak]

 

Orang Asing: “Tapi sah sah saja ketika kamu menyebut diriku Maling. Karena aku   adalah kamu, dan kamu adalah aku. Kita adalah bagian terpisah dari   satu dimensi dunia yang berbeda”

 

Buta: “Kamu maling? Dan kamu itu aku? Berarti aku maling?”

 

Orang Asing: “Ya anggap saja begitu”

 

Buta: “Lah bagaimana bisa?”

 

[Penasaran Buta akan dimana Gagap dan Dungu teralihkan]

 

Orang Asing 1: “Karena kau dan aku merupakan pencuri dari momentum yang pernah ada namun sengaja berpura-pura tidak mengetahui keberadaannya”

 

Buta: “Tentu saja tidak, aku rasa telinga untuk medengar, mulut untuk berbicara, dan   kewarasan yang aku miliki cukup untuk tidak berusaha mencuri momentum   yang kau maksud”

 

Orang Asing 1: “Kau yakin?”

 

Buta: “Tentu saja aku yakin”

 

Orang Asing 1: “Jadi bolehkah aku menanyai suatu permasalahan padamu?”

 

Buta: “Barusan itu sudah ungkapan pertanyaan”

 

Orang Asing 1: “Jadi aku boleh tanya 2 kali?”

 

Buta: “Itu pertanyaan ke-2 sudah kamu lontarkan”

 

Orang Asing: “Yaudah aku nawar lagi, apa boleh aku mendapatkan jawaban dari   pertanyaanku yang ke empat?”

 

Buta: “Itu udah 4 pertanyaan”

 

Orang Asing 1: “Orang masih tanya tiga, kapan aku tanya pertanyaan ke empat?”

 

Buta: “Nah kapan itu pertanyaan ke empat”

 

Orang Asing 1: “Asu!”

 

Buta: “Hahaha. . . oke, oke serius. Jadi gimana?”

 

Orang Asing 1: [mengeluarkan nafas panjang] “Jadi, menurutmu bagaimana tentang   penangkapan seorang pelayan masyarakat yang dituduh oleh   masyarakatnya sendiri karena suatu benda? [mengeluarkan tasbih]

 

Buta: “Ya tentu itu salah dia kan. Ngapain dia nyebut-nyebutin agama di politik”

 

Orang Asing 1: “Maka kau bisa menarik ucapanmu bahwa kau tidak kecurian suatu momentum”

 

Buta: “Bagaimana bisa aku yang harus menarik ucapanku?”

 

Orang Asing: “Mungkin kau akan sadar dengan ucapan ini, jika suatu pernyataan   tidak ada yang memiliki makna tunggal, maka dibutuhkan berapa   orang yang harus salah arus untuk agama?”

 

[Lampu meredup]

 

[Orang asing 1 meletakkan tasbih diatas meja]

 

[Orang asing 1 pergi]

 

Buta: “Lah bagaimana bisa?”

 

Buta: “Hai, kamu masih disana?”

 

Buta: “Tunggu, jawab aku dulu!”

 

Buta: “Bantu aku menuju aku yang lebih utuh!”

 

[lampu padam]

 

[lampu menyala]

 

[Dungu memasuki panggung dengan menggandeng Orang Asing 2]

 

Dungu: “Udah aman gagap! Lampunya udah nyala”

 

[Orang Asing 2 diam]

 

Dungu: “Loh Buta mana?! Gagap buta man. . .” [menoleh pada orang asing 2]

 

[Dungu melepas genggaman tangannya pada Orang Asing 2]

 

Dungu: “Woi kamu siapa tiba-tiba masuk nyelonong aja kayak kucing tegalan!”

 

Orang Asing 2: [tersenyum]

 

Dungu: “Eh bentar bentar, lesung pipinya mirip, mancungnya sama, kumisnya sama, gantengnya… eh sek gantengan aku pastinya”

 

Orang Asing 2: “Hahaha. . .”

 

Dungu: “Idih idih, jelas bukan aku banget, mana ada ketawaku kayak genderuwo gitu. Jelas bukan aku banget”

 

Orang Asing: “Bahkan kamu lebih lucu daripada ucapan yang kamu lempar sendiri”

 

Dungu: “Ngomong apaan sih, udah kecil banget ngomongnya, gajelas lagi”

 

Orang Asing 2: [semakin tertawa dengan ucapan Dungu] “Hahaha. . .”

 

Dungu: “Apaan ini kamu ketawa-ketawa sendiri gila ya kamu ya!”

 

Orang Asing 2: “Kamu yang gila!”

 

Dungu: “Apa? Apa? Ga denger?”

 

Orang Asing 2: “Kamu yang gila!”

 

Dungu: “Loh berani-beraninya kamu ngatain aku orang gila! Ngajak berantem kamu? sini maju kamu!”

 

Orang Asing 2: “Gamau aku maju sendiri, kamunya maju dulu kalo berani! Sini maju   serentak kalau kamu berani!”

 

Dungu: “Serentak, serentak ndasmu! Kamu pikir pilkada ha?! serentak serentak!”

 

Orang Asing 2: “Diam dasar kere!”

 

Dungu: “Woi berani bilangin aku kere! tampang-tampangmu ini tidak usah sok-sok an, aku yakin mukamu ini tidak pernah masuk hotel! Tampang-tampang Semarang gitu bilangin kere!”

 

Orang Asing 2: “Gausah sok-sok bilang aku kere! Sekalipun kamu kaya, itupun hasil    dari menakut-nakuti masyarakat dengan mulut manismu! Dasar    arwah tikus!”

 

Dungu: “He he jaga ya mulut kamu! Awas nanti yang ngerasa kedengaran kena pasal UU lo kamu nanti!”

 

Orang Asing 2: “Oh iya! Maap bapak-bapak ibu-ibu hehe, itu tadi saya bercanda. Ngga ada niatan bilangin ke orangnya langsung”

 

Dungu: “Ya gitu minta maaf!”

 

Orang Asing 2: “Iya maaf!”

 

[Orang asing 2 berpikir sejenak]

 

Orang Asing 2: [menggerutu] “Ngga perlu kita sebutkan juga nama-namanya, kita   tahu sih siapa orang-orang yang kita obrolkan”

 

Dungu: “Gimana? Gimana? Malah ngelunjak ya kamu ya! Aku laporin nih!”

 

Orang Asing 2: “Ngga ngga! Becanda!”

 

Dungu: “Jangan berani-berani ya kamu sama aku! Meskipun wajahmu mirip aku, aku ngga peduli tetep berani aku laporkan kamu!”

 

Orang Asing 2: [memasukan uang ke saku Dungu] “Udah! Udah! Damai nih cepek”

 

Dungu: “Nah gitu dong! Damai kita. Ngomong-ngomong kamu siapa?”

 

Orang Asing 2: “Gini aku adalah. . .”

 

[dungu menyela]

 

Dungu: “Cepet jelasin!”

 

Orang Asing 2: “Ini mau jelasin budeg!”

 

Dungu: “Ohya maaf! ga denger bos. Makanya kalo ngomong yang kenceng!”

 

[Orang Asing 2 melanjutkan]

 

Orang Asing 2: “Aku adalah seorang dungu yang sok pintar dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di masyarakat!”

 

Dungu: “Oke, menarik!”

 

Orang Asing 2: “Udah paham?!”

 

Dungu: “Ha? Paham apaan?!

 

Orang Asing 2: [menunjukkan tanda pengenalnya kepada Dungu] “Perkenalkan!   namaku Dungu!”

 

Dungu: “Loh he! Kamu kok enak banget jadi-jadi aku! Lah aku jadi siapa?!”

 

Orang Asing 2: “Yaudah kalo gitu kamu jadi aku aja!”

 

Dungu: “Kalo kamu jadi aku, aku jadi kamu, lah kita siapa?!”

 

Orang Asing 2: “Yaudah! Kita bukan siapa-siapa!”

 

Dungu: “Gamau aku jadi bukan siapa-siapa!”

 

Orang Asing 2: “Yaudah jadi pribumi!”

 

Dungu: “Pribuminya jangan kosongan! kasih embel-embel apa gitu!”

 

Orang Asing 2: “Pribumi yang 51,2% pribumi!”

 

Dungu: “Kok bisa pribumi yang 51,2% pribumi?!”

 

Orang Asing 2: “Yayalah, orang kepemilikan sumber daya alam 51,2%, berarti   bagimana bisa aku bilang kamu adalah pribumi yang 100%!”

 

Dungu: “He he berani kamu bilang gitu! Ini aku ada semua lo berkas-berkasnya!”

 

Orang Asing 2: “Loh monggo! Kamu kira kamu aja yang punya berkas?! aku juga punya!”

 

Dungu: [Mengeluarkan berkas berkas dari celana dalamnya] “Nih nih!”

 

Orang Asing 2: [Mengeluarkan berkas berkas dari celana dalamnya juga] “Loh   nyama-nyamain kamu!”

 

Dungu: “Loh kok sama di celana dalamnya?!”

 

Orang Asing 2: “Harusnya aku yang nanya gitu sama kamu!”

 

Dungu: [mengambil kertas dari orang asing 2] “Pinjem pinjem!”

 

Orang Asing 2: [mengambil kertas dari Dungu] “Aku juga mau liat punyamu?”

 

Dungu: [mengecek kertas dipegangnya] “Dari kertasnya mirip, tulisan tangannya juga mirip, baunya juga sama! Ini kamu nyuri dari punyaku ya!”

 

Orang Asing 2: [melihat jijik pada Dungu] “Harus banget ya dibau gitu! Heran aku   kok bisa ada orang kayak gitu! Udah emosional kemproh lagi!”

 

Dungu: “Ngomong apa barusan?!”

 

Orang Asing 2: “Ngga ngga! Hadeh!”

 

Dungu: [melemparkan kertas orang asing 2] “Nih kertasmu! Aku pingin baca punyaku sendiri aja!”

 

Orang Asing 2: [mengambil kertas yang telah dilemparkan oleh Dungu] “Jan eram   dadi wong!”

 

Dungu: [mengambil kertas miliknya dari orang asing 2] “Nih nih kubacain ya! Dengerin!”

 

Orang asing 2: “Ya ya! Gimana isi tulisanmu!”

 

Dungu: “Membayar hutang dengan modal, jadi. . .”

 

Orang Asing 2: [menyela Dungu] “Udah udah gantian! Aku bacakan punyaku!”

 

Dungu: “Cepet Ngomong!”

 

Orang Asing 2: “Bentar-bentar, sabar!”

 

[dungu kembali menyimak]

 

Orang Asing 2: “Ininih judulnya, membayar modal dengan hutang, haha kapok!”

Dungu: “Itu kamu dapet tulisan dari mana?!”

 

Orang Asing 2: “Kamu gaperlu tau dari mana asalnya! Makanya kalo baca itu selesaikan sampai tuntas, jangan setengah-setengah!”

 

[orang asing 2 berjalan pergi keluar panggung]

 

Dungu: “Woi belum selesai kita ngobrolnya”

 

Orang Asing 2: “Udah gapenting ngomong sama orang budeg!”

 

Dungu: “Kamu bilang apa?!”

 

Orang Asing 2: [menodongkan senapan api yang diambil dari celana dalamnya]   “Kamu diam!”

 

Dungu: “Berani-beraninya kamu bilang gitu ke aku!”

 

[Dungu menarik baju orang asing 2 hingga terjatuh di lantai]

 

[Lampu padam dan terdengar suara letupan senapan api]

 

Gagap: [berteriak, gagap] “ituloh! Namanya. . .”

 

[Lampu menyala, terdapat podium di tengah panggung, dan terdapat 2 orang yang berdiri di podium tersebut, yaitu si gagap dan seorang asing yang memiliki perawakan seperti Gagap]

 

Gagap: [gagap] “Loh ini dimana?” [tanyanya heran]

 

[suara banyak hewan berbagai macam]

 

Orang Asing 3: [gagap] “Pak ini para hadirin udah nungguin” [berbisik pada Gagap]

 

Gagap: [gagap] “Kamu siapa? Ini aku dimana? Dan ini aku disuruh ngapain?”        [Gagap berbisik]

 

Orang Asing 3: [gagap] “Udah tanya-tanyanya nanti aja! sekarang fokus dulu sama   apa yang mau kamu sampaikan”

 

Gagap: [gagap]“Ini apa? Pidato? Apa stand up comedy? Apa disuruh sebagai    motivator?”

 

[Salah satu hewan di krumunan melempar tomat]

 

Gagap: [gagap] “Iya sabar wahai saudara-saudaraku yang budiman”

 

[sorakan membanjiri panggung]

 

Orang Asing 3: [gagap] “Udah ini baca!” [menghaturkan lembaran kertas]

 

Gagap: [gagap] “Apa ini?” [membuka lembar-lembaran kertas]

 

Orang Asing 3: [gagap] “Udah cepet baca aja!”

 

Gagap: [mulai membacakan kertas tersebut, gagap] “Selamat siang semuanya terima    kasih sudah dapat menghadiri kampanye terbuka ini”

 

[gagap kembali bertanya pada orang asing 3]

 

Gagap: [gagap] “Eh ini kampanye apa lagi?”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Ini kampanye yang yang nantinya jadi pemilu terbesar dan   terumit di dunia”

 

Gagap: [gagap] “Kamu ini ngomongin apaan tho?”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Udah dilanjut dulu aja, kasian orang-orang udah pada   nungguin itu!”

 

[Gagap kembali menghadap pada podium]

 

Gagap: [gagap] “Maaf ini ada kendala sebentar hehe. . . jadi saya lanjut ya”

 

Gagap: [lanjut membaca tulisan yang dhiaturkan dari orang asing 3, gagap] “Hum hum kabar gembira sekali ya, banyak panitia yang terromusha sudah memberikan waktu dan tenaganya hingga tak kenal waktu untuk menentukan siapa calon pemimpin kita”

 

[Gagap mengambil lalu meminum sebotol air yang ada pada podium]

 

Gagap: [Melanjutkan pembacaannya, gagap] “Dalam beberapa hari ini ucap puji    syukur, masih beberapa ratus orang panitia romusha sudah meninggal dunia”

 

[suara riuh hewan-hewan kegirangan]

 

[Gagap meminum air kembali dan langsung kaget menyemprotkan air di mulutnya seketika]

 

Gagap: [kembali mengarah pada orang asing 3, gagap] “Ini wacana apaan?”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Emang kenapa? Ada yang aneh?”

 

Gagap: [gagap] “Orang mati kok di ucap puji syukur?”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Buktinya mereka tepuk tangan

 

Gagap: [gagap] “Tapi tidak harus seperti itu cara penyampaiannya!”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Ini membutikan bahwa kefanatikan hewan terhadap suatu   hal dapat mengalahkan rasa naluriah itu sendiri”

 

[Gagap terdiam]

 

Gagap: [gagap] “Tidak! Aku akan membuktikan bahwa naluriah sebagai sifat dasar    makhluk hidup tidak akan hilang sampai kapanpun!”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Bagaimana kau yang bicaranya masih gagap begitu mau   didengarkan?”

 

Gagap: [gagap] “Buktinya barusan mereka mendengarkan kampanyeku di awal”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Sadarlah! Makhluk jaman sekarang lebih mendengarkan   sesuatu yang bisa memuaskan hasrat mereka sebagai makhluk hidup”

 

[orang asing 3 menghela nafas sejenak]

 

Gagap: [gagap] “Ini ini minum dulu” [menyuguhkan minuman pada orang asing 3]

 

Orang asing 3: [meminum minuman tersebut lantas melanjutkan] “Capek juga ya   kalau ngomong jadi orang gagap”

 

Gagap: [gagap] “Gapapa, lama-kelamaan kamu juga bakal terbiasa”

 

Orang asing 3: [melanjutkan, gagap] “Yaudah aku lanjut, intinya adalah atur   microphonemu di depan mulut bebekmu, sesuaikan segalanya”

 

Gagap: [gagap] “Tidak akan kubuktikan bahwa pernyataanmu salah!”

 

Orang Asing 3: [gagap] “Silahkan!”

 

[Gagap kembali menghadap pada podium]

 

Gagap: [gagap] “Maaf tadi saya salah ngomong ya, tadi maksud saya itu”

 

[sorakan kecewa para hewan mengisi ruangan]

 

Gagap: [gagap] “Gini gini jadi sebenarnya…”

 

[kertas-kertas dan sampah mulai dilemparkan menuju podium]

 

Gagap: [gagap] “Dengarkan dulu, kita harus perbaiki segalanya dengan. . .”

 

[Orang Asing 3 pergi dari panggung]

 

[lampu perlahan padam dan Gagap tetap berusaha menyampaikan pendapatnya]

 

 

Babak 2

 

 

[lampu menyala]

 

[posisi kembali pada semula, terdapat 3 orang berada pada ruangan yaitu Buta, Gagap, dan Dungu]

 

Dungu: [terheran] “Loh kalian! Kalian darimana?!”

 

Buta: “Dungu?”

 

Dungu: “Woi ngomong!”

 

Buta: “Dungu?!”

 

Dungu: “Iya ini aku!”

 

Gagap: [masih heran diliatnya botol air minum yang ada di halusinasinya]

 

Dungu: “Woi Gagap! Kok diem aja ini kamu kenapa” [menghampiri Gagap]

 

Buta: “Dia lagi galau mungkin!”

 

Dungu: “Woi Gagap! Kau ini lagi galau ya?! Masalah si Jubaedah lagi?!”

 

Gagap: [gagap] “Apaansih kalian ini?!”

 

Dungu: “Kalau ada masalah cerita dong! Jangan disimpen sendiri!”

 

Gagap: [gagap] “Aku cuman heran sama kejadian yang barusan aku alami!”

 

Buta: “Kau ngalamin kejadian apa emangnya barusan?”

 

Dungu: [menyimak pembicaraan] “Humm… hummm”

 

Gagap: [gagap] “Kalian percaya kalau barusan aku berpidato di depan publik?!”

 

[sontak Gagap dan Buta tertawa]

 

Dungu: “Kamu itu mabuk apa giman?! jangan jangan botol yang kamu bawa itu isinya ciu ya?!” [sambil menuding ke arah botol yang dibawa Gagap]

 

Buta: “Kamu ini udah ngelantur ya! Kalau kamu capek bisa beristirahat dulu aja  sana!”

 

Gagap: [gagap] “Dengerin aku dulu, jadi ini kejadiannya seakan-akan. . .”

 

Dungu: [menyela pembicaraan Gagap] “Udah udah itu bener kata Buta, mending    kamu tidur aja! Kamu itu capek Gagap!”

 

Gagap: [gagap] “Serius, kejadian barusan itu. . .”

 

Dungu: [menyela dan mengambil botol dari Gagap] “Udah udah, kamu ini kalau mabuk ciu resek emang, udah tidur aja sana!”

 

Buta: “Bener tuh kata Dungu, mending kamu istirahat dulu aja”

 

Gagap: [gagap] “Udahlah kalau kalian tidak mau mendengarkan!”

 

[Gagap berjalan meninggalkan ruangan]

 

Dungu: “Hati-hati kalau jalan! Nanti di pertigaan tengok kanan kiri dulu baru nyabrang!”

 

Gagap: “Iya!”

 

Buta: “Ada-ada aja kamu ini Dungu!”

 

Dungu: “Sebagai kawan memang seharusnya saling mengingatkan bukan?!”

 

Buta: “Iya tapi mengingatkanmu justru lebih tertuju seperti kata makian!”

 

Dungu: “Wong ya orang mabuk juga! Mana mungkin bisa dibilangin pelan-pelan!”

 

Buta: “Yaiya sih!”

 

Buta: [berpikir sejenak] “Tadi selama mati lampu, kau merasa ada yang aneh tidak?”

 

Dungu: “Tidak!”

 

Buta: “Oh begitu!”

 

Dungu: “Kenapa memangnya?!”

 

Buta: “Mungkin kalau aku cerita juga, pasti kau akan menuduhku mabuk ciu segala!”

 

Dungu: “Tergantung ceritanya sih! Kalau kau cerita kau melihat dirimu sendiri, baru aku akan bilang bahwa kau mabuk!”

 

[Dungu tampak membuat-buat cerita]

 

Buta: “Hm. . .” [mengurungkan niatnya untuk bercerita]

 

Dungu: [meminum air dari botol yang dipegangnya] “Ini ciu apaan! Nggaada rasanya!

 

Buta: “Ciu arab kali!”

 

Dungu: “Baru dengar yang namanya ciu Arab! Emang di arab juga ada yag jualan ciu ya?!”

 

Buta: “Tentu saja ada! Malah kalau kau minum ciu Arab, bisa mendatangkan   barokah!”

 

Dungu: “Mana ada yang seperti itu! Dimana-mana sukses, rejeki, barokah, itu dikejar! Ngga ada cara instan kayak gitu!”

 

Buta: “Bukannya kalau rejeki tidak datang kita bisa sukur ngeluh ya?!”

 

Dungu: [terdiam] “. . .”

 

Buta: “Woi dungu!”

 

Dungu: “Apa?!”

 

Buta: “Dengerin kalau orang ngomong itu!”

 

Dungu: “Kamu ngomong kayak semut! Ngomong itu kayak aku yang tegas dan lugas! Jadi mudah didengar orang lain!”

 

Buta: “Yaudah iya iya aku salah!”

 

Buta: “Good!”

 

Buta: “Bukannya kebanyakan orang saat ini lebih sering ngeluh ya ketimbang  ngejar?!”

 

Dungu: “Ya emanglah! Apa susahnya ngeluh?! yang susah itu kan kerja! Belum lagi nemu yang kayak ginian” [menyodorkan botol]

 

Buta: “Kenapa memangnya dengan botol?!”

 

Dungu: “Bukan botolnya! Tapi narasi yang kau buat barusan, seolah-olah dengan narasi yang diciptakan manusia itulah kita mempercayainya! Dan tidak sedikit juga yang meyakininya!”

 

Buta: “Gimana itu contohnya?!”

 

Dungu: [mengambil hp dari celana dalamnya] “Ini bentar aku cariin!”

 

Buta: “Nyari apaan?!”

 

Dungu: [masih sibuk mencari] “Iniloh! Cari anu!”

 

Buta: “Anunya siapa itu yang kamu cari?!”

 

Dungu: “Anuku!”

 

Buta: “Kau lupa naruh paling!”

 

Dungu: [menarik dari celana dalamnya] “Ini! Eh eh eh” [seketika badannya ikut tertarik]

 

Buta: “Itu kau ngapain?! seperti sangat sibuk sendiri gitu!”

 

Dungu: “Salah ambil anu kan jadinya! Kamu ini ramai aja dari tadi! Diam dulu makanya!”

 

Buta: “Lahkok malah aku yang salah?!”

 

Dungu: [mengeluarkan telepon genggam dari celana dalamnya] “Udah, udah! Nah ini    udah ketemu!”

 

Buta: “Itu emang kamu ngeluarin apaan?!”

 

Dungu: “hp!”

 

Buta: “Oh kenapa terusan di hp itu?!”

 

Dungu: [sedang bermain hp] “Sabar ya tuhan!”

 

Buta: “Iya iya aku diem dulu!”

 

Dungu: “Nah ini ketemu! Mungkin banyak yang udah tau hal ini, yang like masuk surga!”

 

Buta: [tertawa] “Bisa aja ya orang-orang ini kalau menjual narasinya!”

 

Dungu: [tertawa] “Emang aneh orang-orang jaman sekarang!”

 

Buta: “Aneh juga kalau banyak yang ngelike gituan! Buat apa coba!”

 

Dungu: [berhenti tertawa] “Hehe iya, dan aku ngelike postingan itu!”

 

Buta: [terdiam] “. . .”

 

Dungu: “Ya jaga-jaga, bisa jadi asuransi kalau surga itu ada!”

 

Buta: “O… ke!”

 

Dungu: “Udahlah kita nyalain musik aja! Kamu mau aku puetrin lagu apa?!”

 

Buta: “Aku pingin lagu keroncong Dungu!”

 

Dungu: “Haduh udah gak jaman banget! Yang lebih keras lah! Lagu metal ya!”

 

Buta: “Nawar-nawarin akhirnya sama aja kau sendiri yang muter!”

 

Dungu: “Emang apa enaknya lagu keroncong! Bikin ngantuk!”

 

Buta: “Ya kamu tidak bisa dong meremehkan lagu dengan genre lain, karena tentunya   genre tiap lagu, karena tiap genre lagu memiliki harmonisasi, birama, dinamik,   maupun progresi chord yang berbeda-beda!”

 

Dungu: “Maklum aku tidak terlalu mengetahui teori lagu!”

 

Buta: “Sepertinya kita butuh seorang penyanyi yang mengerti musik untuk    memberikan norma juga Buta”

 

 Dungu: “Iya juga ya!”

 

Buta: “Yah lelucon ciri khas negara dunia ke-3!”

 

Dungu: “Apa? Istri ketiga?!”

 

Buta: “Lelucon ciri khas negara dunia ketiga!”

 

Dungu: [tertawa] “Bisa aja kamu ini!”

 

Buta: “Oh iya! Bagaimana kalau yang baru-baru ini beredar di masyarakat?!”

 

Dungu: “Apaan itu?”

 

Buta: “Itu tentang kitab-kita yang bermunculan baru-baru ini?!”

 

Dungu: “Oh kitab itu?! kenapa?”

 

Buta: “Iya itu! Bener bener gempar di masyarakat sekarang! Apalagi kaum   mahasiswa! Banyak yang rela mau panas-panasan di jalan”.

 

Dungu: “Itu karena mereka gapunya lahan pekarangan di rumahnya, makanya belum tau rasanya kalo punya pekarangan terus unggas tetangga sebelah rumah nginjek-nginjek kebunnya!”

 

Buta: “Ya tapi itu ribuan lo yang demo!”

 

Dungu: “Iya terus kenapa?!”

 

Buta: “Bayangin kalau ribuan orang itu semua punya pekarangan! Ini ngga ada     bangunan-bangunan pinggir jalan! Pekarangan semua!”

 

Dungu: “Ya malah bagus kan?!”

 

Buta: “Kok malah bagus?!”

 

Dungu: “Ya bagus lah! udah ngga ada demo-demo! Plus konservasi alam!”

 

Buta: “Ndasmu! Lahterus itu infrastruktur pemerintahan yang dibutuhkan masyarakat   mau ditaruh mana kalo semuanya pekarangan?!”

 

Dungu: “Ya ngga tau, udah lah, kita bangun aja banyak pekarangan dimana-mana, suruh aja itu para mahasiswa jadi petani semua!”

 

Buta: “Kok kamu ngeliatnya cuman di pasal itu, kan ada banyak pasal yang terancang   di dalamnya!”

 

Dungu: “Aduh gapenting banget lah! Udah itu urusan pemerintah, kita mikirin makan untuk besok aja udah sulit, mau mikirin pemerintah yang ngga mikirin kita!”

 

Buta: “Jadi benar juga obrolanmu sebelum mati lampu tadi! Sekalipun kita mengkritik   tanpa menghasilkan solusi, sama saja tak berarti”  

 

[Buta melanjutkan]

 

Buta: “Benar-benar menyeruduk seperti banteng”

 

Dungu: “Mending kamu diam aja deh Buta”

 

Buta: “Lah kenapa? Kok tiba-tiba kau sensi banget!”

 

Dungu: “karena semua ucapan yang keluar darimu selalu kabar-kabar nestapa yang    membuat gelisah!”

 

Buta: “Apa kau kira cuma kau yang gelisah oleh banyak permasalahan di luar sana?!   Aku juga! Aku hanya berharap dapat menemukan sebuah solusi tentang apa   yang akan kita hadapi kelak!”

 

Dungu: “Tidak, aku tidak ada solusi untuk apapun!”

 

Buta: “Apakah kamu lelah dengan segala permasalahan ini?”

 

Dungu: “Permasalahan? Mungkin kau salah mengucapkan, yang benar adalah semua     percandaan ini memang melelahkan!”

 

Buta: “Asu! kau kira ngga capek apa ya tiap ngobrol ini harus teriak-teriak terus!”

 

[Buta berusaha mencairkan suasana]

 

Dungu: [terdiam] “. . .”

 

Buta: “Woi Dungu, aku minta air minumnya!”

 

Dungu: [menyodorkan botol minuman] “. . .”

 

Buta: “Kenapa kau tiba-tiba diam saja?!”

 

Dungu: “Apakah kau sudah tahu kabar tentang virus ko(r)ontol yang menyebar di seluruh dunia saat ini?”

 

Buta: “Iya, aku sudah mendengar hal itu!”

 

Dungu: “Apa yang harus kita lakukan esok? Tabungan kita sudah habis, dan kerajaan menganjurkan masyarakatnya untuk tetap di rumah saja”

 

Buta: “Kita masih bisa menghutang pada itu … pada tetangga. . .”

 

[Buta berusaha mencari solusi]

 

Dungu: “Sudah! Kita tak bisa selalu menyusahkan orang lain terus!”

 

Buta: “Jadi?! apa kau memiliki solusi yang lebih baik ketimbang hal itu?!”

 

Dungu: [mengeluarkan senapan api dari celana dalamnya] “Aku tahu solusi terbaik ini    saudaraku”

 

Buta: “Apa rencana itu?!”

 

Dungu: “Kita akan pulang esok”

 

Buta: “Pulang? Apa maksudnya?!”

 

Dungu: [terdiam] “. . .”

 

Buta: “Dungu!”

 

Dungu: [tetap terdiam] “. . .”

 

Buta: “Apa maksudmu pulang Dungu?!”

 

Dungu: “Buta! Berhenti berteriak! Kau bisa membangunkan adik terkecil!”

 

Buta: “Jadi apa yang kau maksud dengan pulang?!”

 

Dungu: “Maaf Buta, mungkin aku akan memulangkan Gagap terlebih dahulu sebelum dia bangun dan kembali resah dengan permasalahan hari ini”

 

Buta: “Pikirkan dalam-dalam lagi adik! Masih ada jalan keluarnya!”

 

Dungu: “Apakah kakak tidak lelah? Apakah yang dibilang gagap barusan adalah percandaan? Aku juga menemui orang asing itu!”

 

Buta: “Ternyata memang tidak hanya aku saja yang gila disini”

 

Dungu: “Aku lelah selalu berpura-pura menjadi orang asing diantara orang-orang yang paling mengenalku! Aku hanya lelah buta! Lelah untuk selalu berkata semua akan baik-baik saja!”

 

Buta: “Iya, aku memahami peerasaanmu! Kita adalah orang-orang asing itu sendiri!   Kita adalah pemerintah yang membentuk masyarakat, dan kita adalah        masyarakat yang membangun pemerintahan itu sendiri!”

 

Dungu: “Jadi buta, izinkan aku mengantar kita pulang! Dengan berat hati Buta!”

 

Buta: [mulai meneteskan air mata] “Iya dik, dengan berat hati aku harus   menyetujuinya!”

 

Dungu: “Baik Buta, terima kasih untuk pengertiannya, akan kuantar Gagap pulang terlebih dahulu”

 

[Buta mengeluarkan tasbih yang ada pada saku celananya, ia mulai menggilir butir demi butir dan mengucapkan doa]

 

Buta: [menangis]

 

[Dungu menuju gagap di luar panggung]

 

Buta: [menangis tersedu]

 

[lampu berfokus pada buta yang duduk dan menangis]

 

[suara dentuman terdengar]

 

Buta: [semakin menangis menderu]

 

[terlihat tangan yang disorot cahaya menodongkan senjata dari belakang kepala Buta]

 

Buta: “Terima kasih adik!”

 

Buta: [menangis tersedu-sedu dan tetap mengucapkan doa]

 

Buta: “Baik! Lakukan Dungu!”

 

Gagap: [mencium kepala Buta, gagap] “Aku sayang kau Buta”

 

[tampak Gagap dengan pakaian berlumuran darah]

 

Buta: “Gagap! Bagaimana kau masih. . .?”

 

Gagap: [gagap] “Apa kau kira hanya kalian yang lelah dengan semua lelucon ini?”

 

Buta: “Bagaimana dengan Dungu? Dimana dia?”

 

Gagap: [gagap] “Dia sudah pulang kak”

 

Buta: “Maafkan aku Gagap, aku dan Buta hanya mencari jalan yang terbaik”

 

Gagap: [gagap] “Bahkan saat ini kalian masih egois dengan pendapat kalian”

 

Buta: “Bukan begitu, biar aku jelaskan . . .”

 

Gagap: [gagap] “Sudah, tidak perlu dijelaskan lagi! Bahkan ketika kalian mengambil    keputusan untuk itu, kalian tidak menanyai pendapatku!”

 

Buta: [menangis] “Maafkan aku adik, aku tak berharap. . .”

 

Gagap: [gagap] “Tenang saja kak, aku tetap akan melakukan rencana kalian dengan    baik”

 

Buta: “Setidaknya dengarkan aku untuk meminta ma. . .”

 

Gagap: [gagap] “Diam! Bagaimana rasanya tidak didengarkan! Melelahkan bukan!”

 

Buta: “Biarkan aku minta maaf, aku . . .”

 

Gagap: [gagap] “Aku mencintaimu kak!”

 

[lampu mati]

 

[suara ledakan terdengar]

 

Gagap menodongkan senapan itu pada kepalanya, namun ketika ia menarik pelatuk senapan tersebut tak terjadi apa-apa. Dan ia menyadari bahwa membunuh Buta merupakan selongsong peluru terakhir, dan ia tak mengetahui bahwa Dungu telah membuang satu pelurunya pada fatamorgana Dungu. Sehingga ia membuang satu peluru yang seharusnya sudah disiapkan untuk mereka bertiga.

 

Gagap: [tertawa dan mulai menangis tersedu-sedu]

 

[lampu mati]

 

Babak 3

 

Banyak orang berlalu lalang di jalanan itu. Terlihat Gagap membawa kardus yang bertulisan “esok kita pulang”. pada kardus tersebut berisi kertas-kertas berhamburan

Yang merupakan catatan-catatan yang sudah dibuat Dungu selama hidupnya.

 

Gagap: [gagap] “Faksin gratis! Bu faksin gratisnya bu?! mas mas! Faksin gratis mas!”

 

[terdapat seorang penjual koran]

 

Penjual Koran: [berteriak] “Dua mayat ditemukan hari ini! Monggo korannya!”

 

Gagap: [gagap] “Maaf pak, boleh lihat sebentar berita utamanya”

 

Penjual Koran: “Dibeli dong mas, buat pelaris juga, masih sepi, belum ada yang beli”

 

Gagap: [gagap] “Sama pak, ini juga masih sepi, belum ada yang mau beli faksin saya”

 

Penjual Koran: “ya gamau tau saya mas, gaada yang gratis mas, saya juga perlu   membiaya hidup saya”

 

Gagap: [gagap] “Yaudah iya mas”

 

[Gagap mengambil koran dari Penjual Koran, dan terdapat seseorang yang membeli koran]

 

[kesempatan tersebut digunakan Gagap untuk berlari dan tidak membayarnya]

 

Penjual Koran: [berteriak] Maling! Maling!

 

[Gagap berlari kencang hingga menemukan tempat sepi untuk membacanya]

 

Gagap: [membaca koran yang sudah dicurinya, gagap] “Dua mayat ditemukan  mengenaskan hari ini, Hasil otopsi ke dua jenazah, telah dikeluarkan rumah sakit terdekat. Hasil otopsi diketahui korban korban pertama mengalami pendarahan berat pada kepala dan korban kedua mengalami pendarahan pada bagian dada, diduga karena virus co(r)ontol.

 

[Gagap kembali berjalan menuju jalanan yang ramai hewan-hewan berlalu-lalang]

 

Gagap: [tertawa dan kembali menangis] Faksinnya! Mas-mas, mbak-mbak

 

[lampu mati]

 

Babak 4

 

[lampu menyala]

 

[terlihat tiga orang berada pada ruangan, buta duduk di tengah menghadap pada mesin ketik, gagap dan Dungu jongkok diantara Buta]

 

Buta: “Jadi bagaimana dengan akhir cerita seperti ini? Menarik tidak?”

 

Gagap: [gagap] “Menarik kok Buta!”

 

Dungu: “Mana menariknya, itu di tengah adegannya masih bisa diganti lagi Buta!”

 

Buta: “Ditambahi apa lagi Dungu?!”

 

Gagap: [gagap] “Mungkin ditambahi ada peristiwa yang . . .”

 

Dungu: [menyela] “Tambahin dialog akunya dong, aku ngerasa dikit banget        dialogku!”

 

Buta: “Sabar! Sabar! Satu-satu dong!”

 

Gagap: [gagap] “Mungkin bisa masukin peristiwa kucing yang tiba-tiba masuk got    sarang tikus”

 

Dungu: “Apaansih Gagap, udah ngomongmu benerin dulu, mending masukin peristiwa yang lebih lucu dulu aja!”

 

Buta: “Udah! Udah! Kita masukin semua ya, tapi satu-satu kalau mau ngomong!”

 

[Buta kembali mengetik, dan mereka bercerita lalu tertawa bahagia]

 

[lampu mati]

selesai

 

 

You May Also Like

0 komentar