Teater Tikar : Mengancam Kenangan

by - Oktober 21, 2015



 
 

Ditulis oleh : Iman Widimulya

Senin (19/10) gedung kepemerintahan Semarang mendadak ramai dikunjungi orang-orang yang ingin menonton pementasan Teater Tikar. Ya, Wisma Perdamaian dipilih teman-teman Teater Tikar sebagai akhir perjalanan dari pentas kelilingnya. Setelah Purwokerto, Tegal, dan Solo, akhirnya mereka mendaratkan kakinya di Semarang. bisa dibilang pementasan Teater Tikar kemarin sukses, dengan banyaknya antusias penonton yang hadir di gedung Wisma Perdamaian kemarin.
Naskah “Mengancam Kenangan” karya Iruka Danishwara yang lalu digarap oleh Ibrahim Bra selaku Sutradara dalam pementasan ini menyajikan fragmen-fragmen mengenai sebuah “kenangan” itu sendiri. Penonton disajikan dengan berbagai adegan yang cukup menyita pikiran, perasaan, dan jiwa dalam durasi 1 jam pementasan tersebut. Bagaimana tidak, adegan menusuk sebuah manekin yang dilakukan oleh Imam Machfudz cukup membuat penonton ataupun saya mengerutkan dahi. Perasaan takut, heran, ataupun kagum menjadi satu. Selain itu dimana Bra selaku sutradara mengemas sebuah kenangan masa kanak-kanak dengan bermain petak umpet lumayan membuat penonton kembali mengingat masa kecilnya.

Namun dibalik suksesnya pementasan Mengancam Kenangan yang disajikan Teater Tikar tidak luput dari berbagai macam kekurangan. Penonton dipaksa mengikuti permainan dalam tempo lambat. Tidak hanya itu, saya merasa sangat terancam ketika menyaksikan pementasan tersebut. Terancam dalam artian saya tidak bisa menikmati pementasan dikarenakan Vocal pemain yang tidak begitu jelas, dan lagi penggunaan Bahasa-bahasa puitis yang penyampaiaanya belum dapat dinikmati ataupun dimengerti. Kelima aktor masih terlihat belum paham akan dialog yang dibicarakannya, sehingga permasalahan yang disampaikan tidak mengenai sasaran.



 (Foto by : Iman Widimulya) 

Dan lagi pemahaman mengenai kenangan dari para punggawa Teater Tikar terlalu jauh didalam ekspetasi penonton. Seperti yang disampaikan Anton Sudibyo dalam diskusi usai pentas tersebut. Anton mengatakan “kenapa Teater Tikar membicarakan tentang kenangan? yang bahwasanya kenangan lebih identik dengan Cinta”. Dan beda lagi dengan yang dikatakan oleh Daniel Godan “menurut saya dalam pementasan ini Sutradara belum kawin dengan si penulis Naskah, sehingga banyak miss dalam eksekusinya”. Ditambah lagi dengan konsep pertunjukan non-realis, pemahaman simbol disini masih terlalu vulgar. Dimana suasana panggung tidak bisa diciptakan disini, para aktor masih terasa kesulitan dalam penyampaiannya.

Di sisi lain saya puas menonton pementasan ini, dikarenakan musik yang ditawarkan oleh teman-teman Teater Tikar cukup brilliant. Sukses untuk Teater Tikar, semoga ini bukan sekedar kerinduan dalam menginjakan dunia panggung lagi.

You May Also Like

0 komentar