Selamat Hari Teater Dunia: Ruang Tumbuh Teater Kampus Saat Ini

by - Maret 27, 2020







Selamat Hari Teater Dunia: Ruang Hidup Teater Kampus Saat Ini

“Orang-orang seperti saya, mungkin akan tersikat habis. Saya tidak akan merasakan lagi teater sebagai pencerahan dan pengalaman batin, tapi hanya hiburan. Karena teater tidak atau akan langka sekali menampung ekspresi personal. Yang ada adalah karya tim artistik, karya bersama, yang selalu berusaha memenuhi persyaratan barang komoditi yang berpotensi terjual.”

Begitu kata Putu Wijaya dalam esai nya yang bertajuk “Teater Paska Industri”. Di tengah masifnya pertumbuhan kota, masyarakat sebagai komponen utama yang hidup didalamnya juga bertumbuh, dimanjakan dengan berbagai pilihan. Begitu juga penonton dalam lingkup teater. Penonton mendapatkan perannya sangat penting dalam sebuah pertunjukan, hingga tolak ukur suksesnya sebuah pertunjukan seringkali dilihat pada aspek penonton, seberapa banyak dan sudah berapa jauh memuaskan penonton. Masalahnya, beberapa kali selera penonton tidak sama dengan apa yang ingin diekspresikan oleh para insan teater. Teater Emper Kampus (Emka) sebagai teater kampus juga sering berada pada dilematis seperti ini, juga terjadi pada kebanyakan teater kampus yang lain, dan bahkan pada teater umum. Maka jika sudah begini, para insan teater kampus berada pada pilihan, mengikuti selera penonton, atau tetap memuliakan berbagai ekspresi yang tidak bisa ditawar atau justru menggabungkan keduanya? Lalu seperti apa?

Di sisi lain, jauh sebelum mengatasi perkara di atas, para insan teater kampus sudah disibukan dengan hiruk pikuknya masing-masing. Mereka perlu mengkaji dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah dan kendala yang mereka hadapi, ruang tumbuh, kinerja, hingga regenerasi. Terlebih, sebagai teater kampus hampir sebagian besar ruang beraktifitas bergantung pada sarana dan pra sarana kampus yang ada, tetapi melihat persoalan kami, kampus sebagai tempat yang kami anggap sebuah rumah, saat ini masih menganggap kami asing, kebijakan seperti jam malam, akses gedung-gedung di kampus yang dipersulit hingga dikenakan tarif, begitu menjadikan kampus semakin asing dan sangat membatasi ruang tumbuh kami. Dan permasalahan seperti itu sudah lumrah terjadi pada para penggiat teater kampus. Adalah sebuah ironi ketika para penghuni rumah ingin mengharumkan nama kampus tapi tak pernah dihargai bagaimana kami berproses. 

Ah, melihat ini, bukankah menjaga ruang-ruang tumbuh teater kampus untuk terus hidup dan berkembang menjadi lebih sulit. Akankah teater kampus mampu menghadapi persoalan-persoalan ini dan dibutuhkan masyarakat atau justru semakin menjadi asing, terjebak dan kesepian. Atau teater, seperti yang ditulis putu wijaya pada “teater paska industry” bahwa teater tetap hidup tetapi hanya untuk menyemarakan, bahwa masih ada kesenian yang dipelihara. Masih ada oase digurun pasir, tak peduli tak pernah dilewati.

Sekali lagi, selamat hari teater dunia dan selamat menikmati hiruk pikuknya masing-masing.
Salam Hangat,

Teater Emka.


***

(Penulis: Rian Destianto)

You May Also Like

0 komentar