Selamat Hari Teater Dunia: Ruang Tumbuh Teater Kampus Saat Ini
Selamat
Hari Teater Dunia: Ruang Hidup Teater Kampus Saat Ini
“Orang-orang
seperti saya, mungkin akan tersikat habis. Saya tidak akan merasakan lagi
teater sebagai pencerahan dan pengalaman batin, tapi hanya hiburan. Karena
teater tidak atau akan langka sekali menampung ekspresi personal. Yang ada
adalah karya tim artistik, karya bersama, yang selalu berusaha memenuhi
persyaratan barang komoditi yang berpotensi terjual.”
Begitu
kata Putu Wijaya dalam esai nya yang bertajuk “Teater Paska Industri”. Di
tengah masifnya pertumbuhan kota, masyarakat sebagai komponen utama yang hidup
didalamnya juga bertumbuh, dimanjakan dengan berbagai pilihan. Begitu juga
penonton dalam lingkup teater. Penonton mendapatkan perannya sangat penting
dalam sebuah pertunjukan, hingga tolak ukur suksesnya sebuah pertunjukan seringkali
dilihat pada aspek penonton, seberapa banyak dan sudah berapa jauh memuaskan
penonton. Masalahnya, beberapa kali selera penonton tidak sama dengan apa yang
ingin diekspresikan oleh para insan teater. Teater Emper Kampus (Emka) sebagai
teater kampus juga sering berada pada dilematis seperti ini, juga terjadi pada
kebanyakan teater kampus yang lain, dan bahkan pada teater umum. Maka jika
sudah begini, para insan teater kampus berada pada pilihan, mengikuti selera
penonton, atau tetap memuliakan berbagai ekspresi yang tidak bisa ditawar atau
justru menggabungkan keduanya? Lalu seperti apa?
Di
sisi lain, jauh sebelum mengatasi perkara di atas, para insan teater kampus
sudah disibukan dengan hiruk pikuknya masing-masing. Mereka perlu mengkaji dan
mencari jalan keluar dari berbagai masalah dan kendala yang mereka hadapi,
ruang tumbuh, kinerja, hingga regenerasi. Terlebih, sebagai teater kampus
hampir sebagian besar ruang beraktifitas bergantung pada sarana dan pra sarana
kampus yang ada, tetapi melihat persoalan kami, kampus sebagai tempat yang kami
anggap sebuah rumah, saat ini masih menganggap kami asing, kebijakan seperti
jam malam, akses gedung-gedung di kampus yang dipersulit hingga dikenakan tarif,
begitu menjadikan kampus semakin asing dan sangat membatasi ruang tumbuh kami. Dan
permasalahan seperti itu sudah lumrah terjadi pada para penggiat teater kampus.
Adalah sebuah ironi ketika para penghuni rumah ingin mengharumkan nama kampus
tapi tak pernah dihargai bagaimana kami berproses.
Ah, melihat ini, bukankah menjaga ruang-ruang tumbuh teater kampus untuk terus hidup dan berkembang menjadi lebih sulit. Akankah teater kampus mampu menghadapi persoalan-persoalan ini dan dibutuhkan masyarakat atau justru semakin menjadi asing, terjebak dan kesepian. Atau teater, seperti yang ditulis putu wijaya pada “teater paska industry” bahwa teater tetap hidup tetapi hanya untuk menyemarakan, bahwa masih ada kesenian yang dipelihara. Masih ada oase digurun pasir, tak peduli tak pernah dilewati.
Ah, melihat ini, bukankah menjaga ruang-ruang tumbuh teater kampus untuk terus hidup dan berkembang menjadi lebih sulit. Akankah teater kampus mampu menghadapi persoalan-persoalan ini dan dibutuhkan masyarakat atau justru semakin menjadi asing, terjebak dan kesepian. Atau teater, seperti yang ditulis putu wijaya pada “teater paska industry” bahwa teater tetap hidup tetapi hanya untuk menyemarakan, bahwa masih ada kesenian yang dipelihara. Masih ada oase digurun pasir, tak peduli tak pernah dilewati.
Sekali
lagi, selamat hari teater dunia dan selamat menikmati hiruk pikuknya
masing-masing.
Salam
Hangat,
Teater Emka.
0 komentar