Menilik Teater Emka

by - Agustus 05, 2013

 Menilik Teater Emper Kampus (Emka)*


Masa orde baru yang dipimpin Presiden Soeharto adalah masa penuh represifitas di segala sektor kehidupan. Tak ada yang boleh mengkritik pemerintah lewat media apapun, termasuk kesenian. Namun seni justru tumbuh subur dengan muatan kritik sosial dan politik lewat bahasa metafora dan simbol. Tak terkecuali di teater.

Dan siapakah yang tak kenal sepak terjang Teater Emper Kampus (Emka)? Kelompok yang berbasis di Fakultas Ilmu Budaya ( dulu fakultas Sastra) Universitas Diponegoro (Undip) ini, pada masa itu terkenal lewat pentas-pentasnya yang berani, kritis, progresif dan anti Soeharto. Banyak julukannya. Dari teater abang karena anggotanya didominasi aktivis mahasiswa sampai teater jalanan atau teater demo karena sering diminta main happening art di demo-demo jalanan.

Saking kritisnya, para anggota teater yang didirikan oleh Agus Maladi Irianto dkk. pada 5 Agustus 1981 ini sering berurusan dengan aparat kepolisian. Pada medio Pemilihan Umum (Pemilu) 1992, misalnya, beberapa aktivis Emka harus mencicipi dinginnya sel tahanan kepolisian.

Fahmi Zoom, Ketua Emka 1997 – 1999 menceritakan. Bermula dari keprihatinan akan buruknya pemerintahan Soeharto dengan pemilu yang sudah diatur sehingga selalu memunculkan Partai Golkar sebagai pemenang. Emka menggelar performance art upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1992.

Dimotori oleh Basa Basuki, mereka mengibarkan bendera putih di halaman kampus. Alhasil, pemerintah mengecapnya sebagai tindakan makar karena dianggap mengkampanyekan golput.
Monolog "Marsinah Menggugat" tahun 2012
Aparat pun menyerbu masuk kampus. Saking paranoidnya, hanya untuk menangkap segelintir mahasiswa, aparat sampai mengerahkan 3 truk pasukan plus satu helikopter yang berputar-putar di atas Pleburan. “Tanpa perlawanan, Basa Basuki Cs pun ditangkap dan ditahan selama beberapa hari,” tutur pria yang saat ini berprofesi jurnalis ini.

Emka pada saat itu boleh dikatakan menjadi organisasi yang diwaspadai pemerintah dan aparat. Selain pentas-pentasnya yang berani dan kritis, mereka juga diawasi karena anggotanya sebagian besar adalah anggota dari SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Maka, lanjut Fahmi, setiap pentas dan kegiatannya bisa dipastikan akan dipenuhi oleh intel-intel aparat. Termasuk ketika pemutaran film dokumenter penyerangan markas PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, 27 Juli 1996, berjudul “Kuda Tuli”. Saat itu, versi pemerintah, pelaku penyerangan adalah orang-orang PRD. Maka untuk menjawab tuduhan itu diputarlah film yang konon hasil bidikan wartawan CNN itu.

Aksi menolak kenaikan harga BBM
Namun pemutaran film yang dibarengi acara buka puasa bersama di ruang E. 103 Fak. Sastra itu itu ijinnya dipersulit oleh pihak kampus. Prof. Muladi, Rektor Undip saat itu tak mau mengambil resiko dengan mengijinkan diputarnya film yang sangat dilarang itu. Padahal ratusan orang sudah berdatangan. Maklum, acara itu diumumkan melalui media lokal Semarang.

Hampir saja acara dibatalkan, kalau Ketua Emka saat itu Benny Benke tak mengambil inisiatif. “Benny naik ke atas meja dan menawarkan pada penonton apakah film tetap diputar atau tidak. Luarbiasanya seluruh penonton minta tetap diputar dan sejak detik itu penyelenggara acara bukan lagi Emka namun seluruh masa yang datang,” kenang Fahmi.

Dilanjutkannya, Emka tak hanya teater jago kandang. Emka saat itu dikenal di seantero Jateng, bahkan sampai Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya. Setiap ada event-event kesenian yang berbasis kerakyatan, bisa dipastikan undangan akan mampir di sanggar. Emka bahkan sempat pentas di Rumah Penyair Widji Thukul tahun 1998, sehari sebelum penggerebekan rumahnya. Thukul kemudian hilang beberapa hari setelahnya, dan tak diketahui rimbanya hingga sekarang.

Namun Fahmi mengingatkan, nama besar Emka tak hanya karena anggotanya sering berurusan dengan aparat. Produktifitas dan standar kualitas pertunjukan yang selalu dijaga turut andil membuatnya besar. Dalam setahun, paling tidak menggelar 4 pentas. Yakni Pentas Besar, Pentas Kampung, Pentas anak baru (sekarang Pentas Laboratorium Naskah) dan Pentas Malam Gairah Bulan Purnama (MGPB).

“MGBP ini selain kita, yang mengisi juga teaterawan kampus dan seniman yang ada di Semarang. Acara ini sangat dinanti sebagai tempat berkumpulnya seniman tua dan muda, dari yang terkenal sampai pemula ,” jelasnya.

Pentas Kampung tahun 2009
Ketua Teater Emka 2009-2010, Fitria Rahmawati mengungkapkan sepak terjang Emka tak lepas dari faham realisme sosialis yang di anutnya. Berangkat dari situ, muncullah visi teater untuk rakyat dan misi penyadaran masyarakat melalui media seni pertunjukan. Dan karena situasi politik demikian panas waktu itu sehingga setiap karya pasti bermuatan kritik politik. Bahkan boleh dikata isi atau muatan pertunjukan lebih kental dibandingkan bentuk dan estetika pertunjukan.

“Itulah konsekuensinya, kritik dikedepankan, sedangkan kualitas pertunjukan itu sendiri agak kendur, ibaratnya, dulu naik panggung hanya membacakan puisi sebaris ‘Indonesia Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiuun’, itu saja seakan-akan dia sudah jadi hero tiada tandingan, dan penonton suka itu. Tapi tidak sekarang,” jelasnya.

Ya, pasca reformasi 1998, keran kebebasan dibuka seluas-luasnya. Siapapun boleh menyuarakan pendapatnya, siapapun boleh berteriak jika tak puas. Kritik bukan lagi barang langka, malah diobral semurah-murahnya.

Hal ini menurut Tia, panggilan akrab Fitria, mempengaruhi estetika teater. Pentas yang mengggunakan kritik terbuka (verbal) kini dinilai usang dan tak zaman. Emka pun mulai mengubah kritik-kritiknya menjadi lebih santun, elegan dan dikemas melalui pertunjukan yang lebih berkualitas namun tetap bernas.

Maka lahirlah, karya-karya seperti Bulan Kabangan yang disutradarai Soni Wibisono pada 2004. Pentas yang berkonsep teater gerak ini menceritakan perjuangan Trunojoyo membebaskan daerahnya dari jajahan Panembahan Senopati Mataram. Meski bercerita tentang sejarah, namun konteks kekinian tetap lekat. Yakni bahwa sejarah tidak bebas nilai, sejarah adalah ciptaan penguasa yang tidak mutlak dan harus dipertanyakan terus menerus kebenarannya.

Kemudian, pentas Perjumpaan Di Tepi Jalan: Membaca Ruang Ber-Ada oleh Anton Sudibyo pada 2006. Pentas ini lebih menyoroti hegemoni kapitalisme yang melahirkan modernitas dan keangkuhan kota. Menciptakan jurang lebar antara kota dan desa, kaya dan miskin, sambil tetap memelihara budaya patriarki. “Mengikuti arus ini, Emka melihat, Indonesia harus siap kehilangan identitas dan budaya leluhurnya,” tutur mahasiswa D3 Bahasa Inggris tersebut.

Monolog "Topeng-Topeng" tahun 2012
Namun perlawanan Emka saat ini menurut Tia lebih berat. Bukan hanya kepada kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat, tapi juga melawan budaya modern yang mengikis sikap kritis mahasiswa. TV, film Hollywood, kafe dan budaya barat lain telah membuat para mahasiswa malas berfikir dan ingin serba instan. Hasilnya, semakin sedikit mahasiswa yang mau menenggelamkan diri pada kegiatan kampus, baik di Badan Eksekutuif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Maka jika di tahun-tahun lalu, setiap pendaftaran Emka Sekitar 50-an mahasiswa baru menyerbu, kini tak ada separuhnya. “Tahun 2008, hanya belasan yang daftar dan yang bertahan kini 8 orang. Tahun 2009 yang daftar malah cuma 8, tidak tahu yang bertahan berapa,” tuturnya.

Meski demikian, Tia bertekad tetap mengibarkan bendera Emka setinggi mungkin. Meskipun sadar memiliki beban sejarah nama besar Emka, ia menyatakan setiap masa memiliki kisah dan perjuangannya sendiri. “Yang pasti fondasi Emka bahwa kita bukan hanya berteater namun juga kawah candaradimuka untuk mengasah kesadaran dan kekritisan atas realitas kehidupan, harus tetap kita jaga, karena itulah yang membedakan kita dengan teater kampus yang ada,” tandasnya.

Sekarang ini pun bendera Emka masih bekibar dan tetap mempertahankan eksistensinya di dunia perteateran Indonesia. Buktinya sampai saat ini beberapa pentas sukses dilakoni para pegiat teater ini, diantaranya Roro Ireng (2011) yang sutradarai Dian Indriani, Yang Tersimpan Dan Mungkin Terbuang (2012) di sutradarai Ahmad Khoirul Asyhar, dan beberapa pentas kampung seperti TUK (2012) dan LENG (2013).

Meskipun personilnya tidak pernah mencapai angka yang drastis tapi sekiranya Emka sudah bisa menciptakan Warna tersendiri di teater kampus Semarang. Sastra dan Keaktoran yang selama ini menjadi senjata andalan Emka. Pembedahan naskah yang dalam dan pendalaman karakter yang selama ini masih melekat pada Emka.

pentas kampung LENG tahun 2012

*diambil dari tulisan Anton Sudibyo dengan sedikit perubahan

You May Also Like

0 komentar