Bloody Sunrise: Ingatan tentang siksaan, keindahan, dan perang*
Pentas Teater Kaplink pada
tanggal 13 Februari 2013 yang berjudul Bloody
Sunrise dengan sutradara Bowo ini menggunakan naskah karyanya sendiri.
Naskah ini mengisahkan seorang Jugun
Ianfu pada masa
kependudukan Jepang di Indonesia, yaitu sekitar tahun 1942-1945. Jugun Ianfu merupakan praktik prostitusi
sistematis yang dijalankan oleh militer Jepang selama perang pasifik.
Pertunjukan yang dimulai
pukul 19.00 wib di gedung serbaguna Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang
ini disaksikan oleh ratusan
penonton yang terdiri dari tokoh teater Semarang, pegiat teater kampus
Semarang, dan mahasiswa umum dari kampus Universitas Dian Nuswantoro. Dalam
pementasan ini juga melibatkan beberapa UKM yang ada di lingkup
kampus Udinus, di antaranya Resimen
Mahasiswa (MENWA), Taekwondo, dan PSM Udinus sebagai extrass. Selama pementasan, saya cukup menikmati
pertunjukan yang disajikan dalam bentuk semi musikal ini. Selain menyajikan pementasan dengan sentuhan musikal,
pementasan ini juga menyajikan tarian-tarian yang melengkapi kesatuan pentas ini. Akan tetapi, ada simbol-simbol tarian
yang mungkin kurang saya mengerti.
Yang dapat saya pahami dalam
pertunjukan ini adalah tentang seorang gadis pribumi bernama Sutini yang ditipu
oleh iming-iming akan disekolahkan ke luar negeri oleh Jepang, tetapi malah
dijadikan budak seks oleh tentara Jepang. Sutini dipaksa berpisah dari ayahnya, Kardiyo, yang awalnya memang tidak setuju dengan
program Jepang tersebut. Ketidaksetujuan itu digambarkan dalam dialognya
dengan
Pak Lurah yang datang ke
rumah Kardiyo. Dalam adegan ini saya merasa Pak Lurah yang seharusnya menjadi ice
breaking justru
terasa sedikit membosankan
atau dalam bahasa saya adalah krik-krik,
karena terkesan
terlalu panjang dan bertele-tele.. Konflik atau klimaks muncul saat Sutini dipaksa
harus melayani tentara Jepang di asrama Janfu. Adegan
ini memperlihatkan bahwa Ia harus melayani tokoh tentara Jepang yaitu Ikeda dan
Yasuhiro. Ia
merefleksikan peristiwa
itu dengan
nyanyian depresi dan traumatik.
Setelah pertunjukan yang
menguras emosi selama kurang
lebih tiga jam tersebut usai, Teater Kaplink mengadakan diskusi yang
mengulas pementasan
tadi bersama para penonton.
Lik Wage sebagai penonton menanyakan mengenai properti rokok yang tidak
digunakan secara efektif oleh tokoh Kardiyo, diperankan oleh Tong, segera
diklarifikasi oleh sang aktor sendiri
bahwa rokok merupakan properti mati yang memang biasa digunakan oleh seorang
bapak-bapak.
Banyak penonton mengeluhkan
vokal pemain yang tidak sampai ke penonton, sehingga penonton melewatkan maksud
yang ingin disampaikan
pada saat pertunjukan berlangsung. Apalagi banyak adegan dalam pertunjukan yang
menggunakan level bawah, padahal dengan penonton yang juga duduk di bawah membuat penonton yang berada di
baris belakang kurang dapat menikmati pertunjukan. Kemudian penggunaan
lampu,
yang cukup menarik menurut saya,
pada saat menyorot tiga spot Ianfu
yang menunjukkan penderitaan mereka. Tetapi agak disayangkan pada penggunaan
lampu berwarna biru di sebelah kanan dan kiri yang tidak terlalu terlihat.
Terlepas dari semua itu,
saya tetap salut kepada Teater kaplink yang tetap bisa memberikan pertunjukan
yang bagus. Terlihat dengan banyaknya penonton yang datang dan tema pementasan yang juga bisa dijadikan
referensi dalam upaya memaknai sejarah, serta rangsangan bagi penonton untuk
membaca sejarah yang ada di sekitarnya. Tetap semangat berkarya dan
berproses. Salam Budaya!
*ditulis oleh: nina 'ini hanya sedikit ulasan
subjektif saya, terima kasih.'
0 komentar