Bloody Sunrise: Ingatan tentang siksaan, keindahan, dan perang*

by - Februari 20, 2013

Pentas Teater Kaplink pada tanggal 13 Februari 2013 yang berjudul Bloody Sunrise dengan sutradara Bowo ini menggunakan naskah karyanya sendiri. Naskah ini mengisahkan seorang Jugun Ianfu pada masa kependudukan Jepang di Indonesia, yaitu sekitar tahun 1942-1945. Jugun Ianfu merupakan praktik prostitusi sistematis yang dijalankan oleh militer Jepang selama perang pasifik.

Pertunjukan yang dimulai pukul 19.00 wib di gedung serbaguna Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang ini disaksikan oleh ratusan penonton yang terdiri dari tokoh teater Semarang, pegiat teater kampus Semarang, dan mahasiswa umum dari kampus Universitas Dian Nuswantoro. Dalam pementasan ini juga melibatkan beberapa UKM yang ada di lingkup kampus Udinus, di antaranya Resimen Mahasiswa (MENWA), Taekwondo, dan PSM Udinus sebagai extrass. Selama pementasan, saya cukup menikmati pertunjukan yang disajikan dalam bentuk semi musikal ini. Selain menyajikan pementasan dengan sentuhan musikal, pementasan ini juga menyajikan tarian-tarian yang melengkapi kesatuan pentas ini. Akan tetapi, ada simbol-simbol tarian yang mungkin kurang saya mengerti.
Yang dapat saya pahami dalam pertunjukan ini adalah tentang seorang gadis pribumi bernama Sutini yang ditipu oleh iming-iming akan disekolahkan ke luar negeri oleh Jepang, tetapi malah dijadikan budak seks oleh tentara Jepang. Sutini dipaksa berpisah dari ayahnya, Kardiyo, yang awalnya memang tidak setuju dengan program Jepang tersebut. Ketidaksetujuan itu digambarkan dalam dialognya dengan Pak Lurah yang datang ke rumah Kardiyo. Dalam adegan ini saya merasa Pak Lurah yang seharusnya menjadi ice breaking justru terasa sedikit membosankan atau dalam bahasa saya adalah krik-krik, karena terkesan terlalu panjang dan bertele-tele.. Konflik atau klimaks muncul saat Sutini dipaksa harus melayani tentara Jepang di asrama Janfu. Adegan ini memperlihatkan bahwa Ia harus melayani tokoh tentara Jepang yaitu Ikeda dan Yasuhiro. Ia merefleksikan peristiwa itu dengan nyanyian depresi dan traumatik.
Setelah pertunjukan yang menguras emosi selama kurang lebih tiga jam tersebut usai, Teater Kaplink mengadakan diskusi yang mengulas pementasan tadi bersama para penonton. Lik Wage sebagai penonton menanyakan mengenai properti rokok yang tidak digunakan secara efektif oleh tokoh Kardiyo, diperankan oleh Tong, segera diklarifikasi oleh sang aktor sendiri bahwa rokok merupakan properti mati yang memang biasa digunakan oleh seorang bapak-bapak.
Banyak penonton mengeluhkan vokal pemain yang tidak sampai ke penonton, sehingga penonton melewatkan maksud yang ingin disampaikan pada saat pertunjukan berlangsung. Apalagi banyak adegan dalam pertunjukan yang menggunakan level bawah, padahal dengan penonton yang juga duduk di bawah membuat penonton yang berada di baris belakang kurang dapat menikmati pertunjukan. Kemudian penggunaan lampu, yang cukup menarik menurut saya, pada saat menyorot tiga spot Ianfu yang menunjukkan penderitaan mereka. Tetapi agak disayangkan pada penggunaan lampu berwarna biru di sebelah kanan dan kiri yang tidak terlalu terlihat.
Terlepas dari semua itu, saya tetap salut kepada Teater kaplink yang tetap bisa memberikan pertunjukan yang bagus. Terlihat dengan banyaknya penonton yang datang dan tema pementasan yang juga bisa dijadikan referensi dalam upaya memaknai sejarah, serta rangsangan bagi penonton untuk membaca sejarah yang ada di sekitarnya. Tetap semangat berkarya dan berproses. Salam Budaya!

*ditulis oleh: nina 'ini hanya sedikit ulasan subjektif saya, terima kasih.'

You May Also Like

0 komentar