Pentas Kolaborasi Teater Jejak dan Kesenian Jawa

by - April 21, 2013


Dewi Sri Menggugat Dongeng yang tak lagi dituturkan
oleh: Asyhar Sanglusuh


“Nduk, kowe ning endi? Iki lho segamu dipangan sek. Sega iki dongeng sing kudu dadi dagingmu.”



foto: asyhar sanglusuh/teater emka

SEMARANG --- Kalimat berbahasa jawa tersebut merupakan penggalan dialog yang diucapkan seorang tokoh, Ibu, kepada anaknya yang belum selesai makan, tapi sudah pergi bermain ke sawah bersama teman-temannya untuk mencari keong. Penggalan dialog itu adalah dialog pembuka pentas kolaborasi antara Teater Jejak ISI Surakarta dengan UKM Kesenian Jawa Undip di Joglo PKM Undip yang berada di jalan Imam Bardjo, Semarang, pada Jumat (29/3) malam. Pementasan tersebut diselenggarakan untuk memperingati hari teater dunia yang jatuh pada tanggal 27 Maret lalu.
Pentas berjudul Cerita Tanah Cerita yang disutradari oleh Bureg tersebut secara mendasar mengangkat tema mengenai dongeng yang semakin hari semakin hilang. Dongeng yang sejatinya merupakan hasil dari kebudayaan masyarakat secara perlahan dan pasti semakin tergantikan posisinya dengan televisi dan media elektronik lainnya. Padahal dongeng merupakan media pembelajaran yang efektif dan santun.

”Pentas ini merupakan bentuk keprihatinan saya mengenai cerita dongeng yang sudah tidak lagi dituturkan oleh pemiliknya. Apalagi sekarang dongeng telah tergantikan oleh televisi yang semakin didewakan,” tutur Bureg selepas pentas.

Pementasan yang berdurasi pendek, kurang dari satu jam, tersebut menggabungkan antara konsep teater dan tari dengan mengambil contoh cerita Dewi Sri. Dongeng mengenai Dewi Sri yang oleh masyarakat agraris dianggap sebagai lambang kesuburan digunakan sebagai patokan atau garis besar cerita dalam pentas. Dewi Sri dalam pementasan tersebut digambarkan dengan tiga orang penari yang menyimbolkan ketegasan, kelembutan, dan kecintaan. Tiga penari tersebut dialut dengan kostum berwarna merah dan hitam, selendang (jarik) putih, serta hiasan berupa batang dan bulir padi di kepala.


foto: asyhar sanglusuh/teater emka
Ketiga simbol tentang Dewi Sri merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh naskah tersebut mengenai dongeng dan tradisi yang mulai terlupakan. Apalagi ketika sawah yang menjadi yang tumpuan hidup para petani sudah tidak produktif sebagai akibat dari ulah petani sendiri. Dewi Sri dengan kelembutannya memberikan kenyamanan kepada para petani dengan memberikan tanah yang subur dan rejeki melimpah dari sawah. Kemudian dengan kecintaannya, Dewi Sri yang setia selalu menjaga padi dari gangguan apapun. Terakhir ketegasan merupakan simbol amarah Dewi Sri yang ingin mengungkapkan kemarahannya karena petani dengan kasar telah merusak sawah dan tanamannya sendiri.
foto: asyhar sanglusuh/teater emka
Penyampaian pesan inilah yang dengan halus digarap melalui tarian serta gerak-gerak teaterikal yang membuat penonton tidak pernah bisa melepaskan pandangannya dari panggung. Terlebih lagi penempatan penonton yang berada di tengah-tengah panggung membuat kesan sutradara ingin lebih mendekatkan penonton dengan pesan yang ingin ia sampaikan.



Setelah pementasan berakhir, dibuka sesi diskusi yang membahas seluk beluk naskah. Mulai dari konsep sampai pada isi dan latar belakang naskah ini dipentaskan. Dalam diskusi tersebut Bureg menyampaikan kegelisahannya mengenai pengolahan lahan dan tanaman padi yang semakin instan.

“Saya sangat miris ketika melihat petani yang kini menggunakan sabit dan mesin untuk memanen padi. Padahal dulu orang-orang memanen padi dengan menggunakan ani-ani (alat memanen padi yang terbuat dari bambu). Tapi sekarang orang-orang memanen padi melalui selangkangannya, yaitu menggunakan mesin traktor khusus panen,” terangnya kepada penonton.

“Pengambilan dongeng dan tokoh Dewi Sri tersebut setelah melalui beberapa kali pengamatan dan observasi di berbagai daerah yang masih atau bahkan menghilangkan ritual panen padi. Beberapa tempat yang masih menjalankan ritual panen padi itu antara lain daerah Gunung Kidul, Karang Anyar, dan Banyuwangi,” tambah Bureg.

Friska, selaku ketua Kesenian Jawa, mengatakan bahwa proses ini sangat singkat. Semua dikerjakan dengan cepat, tapi langsung kepada inti. Selanjutnya ia menambahkan bahwa pementasan ini bukan agenda rutin organisasinya. “Ketika kami mendapat tawaran untuk kolaborasi pentas ini, kami langsung mengiyakan karena ini bukan kali pertama kali berkolaborasi dengan Teater Jejak,” katanya.

foto: asyhar sanglusuh/teater emka
“Saya berkeinginan pentas ini tidak hanya satu kali. Di sini saja, tapi kami akan coba membawanya ke daerah lain. Apalagi mitos dan dongeng tentang Dewi Sri juga ada di daerah lain, meskipun dalam bentuk yang beda,” kata Bureg di akhir diskusi.

Daae, seorang penonton dan pegiat seni, yang menonton pementasan tersebut mengatakan bahwa pentas ini secara isi sangat membuat penonton kembali berpikir mengenai pentingnya posisi cerita dongeng dalam perkembangan masyarakat. Terlebih lagi bagi ia yang tinggal di lingkungan agraris.

Sekarang, setelah semua yang disampaikan oleh Teater Jejak dan Kesenian Jawa Undip, bagaimana tindak lanjut yang dilakukan oleh semua elemen terkait.

You May Also Like

0 komentar