Sedikit Ulasan Tumpas Kelor-nya Dipo

by - Juni 08, 2012

"Tapi hati kita tidak boleh buta ya mbak." Penggalan dialog Mentari dalam lakon Tumpas Kelor

 
Senin, 4 Juni 2012, Teater Dipo telah sukses mementaskan “Tumpas Kelor” karya Mulyani M Noor dengan sutradara Nazi. Pertunjukan yang berdurasi  kurang lebih satu jam ini dimulai pukul 20.00 WIB di Gedung Serba Guna, TBRS. Pertunjukan ini bercerita tentang idealisme yang diperjuangkan oleh sebagian orang dalam melawan segala bentuk  kediktatoran yang muncul di negeri mereka. Saya sendiri kurang menikmati pertunjukan dari Teater Dipo.

Entah karena ada beberapa masalah teknis yang kurang tergarap, atau kurangnya pengetahuan saya dalam memahami pertunjukan tersebut, atau mungkin penyampaian sutradara yang memang dikemas menjadi pertunjukan seperti itu. Yang bisa saya tangkap, Tumpas Kelor menceritakan tentang sebuah keluarga yang mempunyai tiga orang anak yang dua diantaranya , Bintang dan Mentari, mengalami gangguan.  Mentari adalah penderita cacat ganda, yaitu tunanetra dan tunadaksa. Sedangkan Bintang mengalami gangguan psikologis. Kemudian ada dua orang teman Bintang yang mendatangi rumah mereka. Sayapun tidak mengerti apa tujuan dari kedatangan dua orang tersebut. Intinya, pada adegan awal, saya kurang bisa menangkap inti cerita. Konflik muncul ketika seorang penguasa beserta pengawalnya mengancam kedua orangtua dari Mentari, Bintang, dan Bulan. Menurut penguasa tersebut, keluarga itu telah mempunyai idealis sendiri yang bisa mengancam keberadaan penguasa itu. Akhirnya dengan segala kediktatoran penguasa itu, dia memutuskan untuk menghabisi semua anggota keluarga tersebut. Di akhir adegan, dan yang menurut saya paling menarik, akhirnya penguasa dan kedua pengawalnya di bunuh oleh orang-orang tak dikenal. Simbol background hitam digoyangkan dengan beberapa tepukan tangan dan suara-suara riuh dari orang-orang, dipilih oleh sutradara untuk menyimbolkan kematian penguasa ditangan rakyat.

Setelah pertunjukan usai, anggota Teater Dipo mengadakan diskusi  dengan penonton  di teras Gedung Serba Guna, TBRS. Beberapa penonton mengeluhkan perpindahan setting adegan yang kurang jelas. Nazi sebagai sutradarapun belum menjawab secara jelas pertanyaan yang diajukan penonton. Selain itu masalah-masalah teknis seperti, dialog yang kurang tersampaikan, kesalahan lighting, dan juga lamanya perpindahan adegan, menurut saya seharusnya bisa diakali dengan penggarapan yang lebih rapi. Sehingga ada beberapa penonton yang masih belum paham betul maksud pertunjukan Tumpas kelor itu akan dibuat seperti apa.

Tapi saya tetap salut atas kerja keras teman-teman Teater Dipo, karena banyak sekali penonton yang telah datang mengapresiasinya. Walaupun ada beberapa penonton yang sangat mengganggu penonton lain yang menikmati pertunjukan tersebut, seperti sumber cahaya dan sumber bunyi dari handphone mereka, dan juga teriakan-teriakan penonton ditengah-tengah pertunjukan. Selain itu, ilustrasi dari pertunjukan lain (baca : Wonderia) sepertinya tidak sesuai dengan cerita Tumpas Kelor.  Mungkin hanya itu yang dapat saya tulis setelah menikmati sajian teman-teman Teater Dipo dengan naskah Tumpas Kelor. Ini hanya ulasan subjektif saya. Sekali lagi selamat untuk Teater Dipo.

Tetap berproses dan Salam Budaya!!

Oleh: Dian Indriani

You May Also Like

0 komentar