Sang Mandor: Dari Panggung Sampai ke Kampung

by - Desember 23, 2011

Ditulis Oleh: asyhar sanglusuh

Foto: Babas


SEMARANG – Malam itu jalanan masih basah dengan rintik hujan yang tak reda dari siang hari. Beberapa kelompok orang tetap semangat untuk datang ke ruang seminar Unisbank, yang terletak di belakang pom bensin pandanaran tersebut. Tujuannya tak lain adalah menyaksikan pertunjukan teater. Sabtu malam itu, 17 Desember 2011, adalah Teater  Cabank yang melakukan pementasan dengan naskah Sang Mandor karya Rahmn Arge dan disutradarai oleh Romi.

Pementasan dibuka dengan sebuah pembacaan puisi yang kemudian mengantar penonton pada cerita Sang Mandor itu sendiri.

Sang Mandor menceritakan tentang kehidupan seorang Mandor Kapal (pelaut) yang telah berada di ujung usia. Tokoh Mandor yang diperankan oleh Tobi merupakan seorang mandor kapal yang sudah tua dan sakit-sakitan. Dia mempunyai seorang istri, dan tiga orang anak, yaitu Juki (Atenk), Udin (Item), dan Yanti (Ana). Ketiga anaknya itu hanya mementingkan dirinya masing-masing. Hingga pada suatu waktu, mereka saling berebut harga diri di hadapan Sang Mandor. Tetapi malang bagi sang Mandor, ketiga anaknya tersebut tidaklah patut untuk dibanggakan. Bahkan saking kesalnya kepada ketiga anaknya itu, Sang Mandor berujar, “Jangan pernah menadahkan tangan, kecuali kepada Tuhan”. Perkataan itu merupakan bentuk kekesalan Sang Mandor, karena anak yang dia besarkan dari kecil hanya mampu menghabiskan harta saja tanpa mau berusaha. Untunglah dia masih mempunyai seorang istri, Yayuk (yang diperankan oleh Sarah), yang sangat setia menemaninya.

Pementasan yang secara teknis kuarang begitu mengesankan ini membawa pesan moral yang berlatarkan masyarakat di daerah pantai, yang memang  secara konsepsitual merupakan masyarakat yang lugas, tanpa basa-basi, boros, dan keras. Namun, dalam naskah ini tidak serta merta menghadirkan konsep-konsep seperti yang telah tersebutkan tadi. Melainkan pementasan ini menawarkan sebuah realita lain yang terjadi di masyarakat tepi laut, khususnya nelayan, meskipun dalam kemasannya tetap saja konsep-konsep tadi menjadi bagian yang tak terlepaskan. Seperti, kegemaran anak-anak Sang Mandor yang suka menjual harta milik orang tuanya hanya untuk kesenangannya, serta kehidupan Sang Mandor yang sering melaut dan banyak bermain perempuan.

Selain pesan moral yang dibawa oleh naskah ini, hal lain yang menarik adalah pementasan ini juga dipentaskan di kampung. Tepatnya di Dusun Persil, Ngaliyan, pada tanggal 11 desember 2011. Ini merupakan kali pertama Teater Cabank melakukan pementasan teater di kampung. Tobi, yang merupakan salah satu anggota sekaligus pemain dalam naskah ini menerangkan bahwa pementasan yang dilakukan di kampung tersebut cukup menyedot animo warga sekitar.

Dalam diskusi setelah pentas pun, ada salah seorang penanya yang menanyakan mengenai pementasan di kampung tersebut. Jawaban yang diberikan pun cukup menarik. Pementasan pada saat di kampung sangat berbeda sekali dengan yang dipentaskan malam itu. Perubahan besar pada naskah disesuaikan denganisu yang terjadi di kampung tersebut. Isu itu adalah mengenai pencemaran yang dilakukan oleh sebuah pabrik yang berada di sekitar pemukiman tersebut. Warga yang ada di sana hanya bisa menerima dengan lapang, kondisi yang mereka alami. Kemudian yang dilakukan Teater Cabank pada waktu itu adalah memasukkan isu tersebut dalam naskahnya dengan sedikit memberi gambaran kepada warga  mengenai bahaya yang mengancam mereka. Respon warga pun positif. Akan tetapi, pementasan pada waktu itu terasa kurang mengena karena pihak pabrik tidak ada yang menyaksikan, sehingga mereka pun tidak tahu apa yang terjadi di luar sana.

Terlepas dari apa yang terjadi di kampung, dua pementasan yang dilakukan oleh Teater Cabank itu merupakan upaya pembandingan antara pementasan yang murni atau sama yang ada dalam naskah dan pementasan yang telah mengalami proses adaptasi dan penyesuaian ruang.  Hal seperti ini sudah sering atau bahkan menjadi bahan utama setiap penggarapan. Jadi tinggal bagaimana kita menyeleksi sebuah permasalahan yang nantinya kita kemas dalam sebuah pertunjukan sesuai dengan ruang yang terkonsep. (sl)

You May Also Like

2 komentar