Melawan Keangkuhan Pabrik dengan Teater*

by - Juli 17, 2013


SEMARANG - Makam Kiai Bakal pada Sabtu-Minggu (13-14/7) dini hari tadi ramai pengunjung. Jemaat dari berbagai kalangan itu datang untuk meminta berkah dari pesarean keramat di Desa Bakalan. Tapi kekhusyukan doa yang dipimpin juru kunci makam, Pak Rebo, terganggu oleh deru mesin pabrik.
Namun itu baru gangguan kecil. Bahaya sebenarnya adalah rencana perluasan pabrik yang bakal mencaplok seluruh areal desa, termasuk pesarean Kiai Bakal.
Situasi itu membuat Bongkrek (bekas mandor pabrik) marah. Tanpa bisa ditahan oleh Mbok Senik dan Kecik, pria ceking itu nglurug dan membakar pabrik. Tindakan itu membuat Bedor, tangan kanan bos pabrik, marah dan terpaksa menghabisi Bongkrek dengan pistol.
Lakon berjudul Leng ini ditulis pendiri sekaligus sutradara Teater Gapit Solo, Bambang Widoyo Sp alias Kentut. Fakta bahwa almarhum membuatnya pada 1980-an, bagai sebuah tamparan yang membangunkan kita bahwa tidak pernah ada perubahan di negeri ini. Ya, semua gambaran Kentut atas penindasan masyarakat kelas atas pada kelas bawah pada masa 30 tahun silam, sampai hari ini masih relevan.
Karena itulah, Teater Emka Universitas Diponegoro yang memainkannya di Kampung Tegalsari Tapak RT 02 RW 03, Tugurejo, Sabtu (13/7) malam tak perlu mengubah banyak. Ochim sebagai sutradara cukup mengubah latar tempat dari Desa Bakalan yang aslinya di Selatan Surakarta, menjadi sebuah desa di sebelah Barat Semarang. 
Tapi Ochim mungkin lupa bahwa Leng bukan lakon berbahasa Indonesia. Judul buku yang memuat Leng dan tiga lakon Kentut lainnya (Rol, Tuk, Dom) itu jelas bertajuk Empat Naskah Drama Berbahasa Jawa. Maka, dengan logat dan dialek Jawa yang berbeda-beda dari belasan pemainnya, Desa Bakalan seperti wilayah antah berantah yang penuh kaum pendatang sehingga penduduk asli sulit diidentifikasi.
Di luar disiplin bahasa, Emka cukup cerdas memilih Tugurejo Tapak sebagai destinasi Pentas Kampung-nya. Warga di situ sering resah karena masalah polusi pabrik dari kawasan industri yang berdiri di sekitarnya. Polusi udara dan suara acap menganggu aktifitas penduduk dalam kesehariannya. 
Setidaknya, seperti dituturkan Ketua RT 02, Hasyim, warga bisa belajar untuk melawan keangkuhan pabrik melalui media teater. Juga dari kengeyelan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya itu yang tetap melanjutkan pentas meski diinterupsi hujan. Ya, pentas yang dimulai pukul pukul 21.00 Wib, selepas tarawaih itu harus berhenti sementara, kemudian dilanjut pukul 23.00 Wib dan baru berakhir pukul 01.00 Wib hari berikutnya.
*diambil dari suaramerdeka.com / Anton Sudibyo / CN38 / SMNetwork


You May Also Like

0 komentar