Pengantar
Lebih tinggi dari alam, lebih rendah dari laki-laki.
Manusia sering membedakan eksistensinya dengan eksistensi alam dengan tidak memasukkan manusia ke dalam ketegorisasi ‘apa yang disebut dengan alam’. Rene Descartes dengan pendapatnya yang terkemuka “Aku berpikir, maka aku ada” berhasil mengekslusifkan kedudukan manusia menjadi makhluk yang antroposentrisme. Pendapat itu secara langsung mengemukakan bahwa dalam dunia ini, secara universal, hanya manusia-lah yang diberikan anugerah untuk berpikir. Rene Descartes tidak memandang bahwa alam seperti pohon, binatang, gunung, lautan, dan lain-lain tidak diberikan anugerah untuk berpikir dan bertindak. Aldo Leopold, sebagai seorang naturalis, membantah slogan tersebut dengan menyebutkan bahwa alam pun memiliki kesadaran yang manusia tidak bisa ikut campur dalam komunikasi alam yang kompleks dan rumit. Dalam takaran matematis yang dimiliki oleh manusia, manusia tetap tidak mampu untuk memahami nilai intrinsik alam. Manusia pada takarnya hanya mampu untuk mendefinisikan alam sebagai sesuatu yang bernilai bagi kebutuhan kelangsungan hidup manusia, melihat nilai ekstrinsik dari alam. Leopold bahkan mengkritik wacana tentang konservasi lingkungan yang selama ini digaungkan dengan narasi bahwa alam harus diselamatkan demi masa depan manusia.
Menurut Jean Paul Satre dan Albert Camus, satu hal yang membuat manusia menganggap dirinya lebih bernilai dibanding alam adalah faktisitas, yaitu kebebasan, menyadari kebebasannya, dan dapat mengartikulasikan kebebasannya. Disebutkan bahwa bukti dari manusia dapat menyadari kebebasan dan mengartikulasikan kebebasannya adalah manusia merupakan makhluk yang dapat memilih untuk bunuh diri. O’ barry mengkritik pandangan tersebut dengan mengemukakan lumba-lumba juga dapat memilih untuk bunuh diri. Telah diketahui bersama bahwa lumba-lumba merupakan simbol kebebasan ketika kita melihat visual lumba-lumba yang berenang bebas mengarungi samudra bersama kawanannya, tertawa dan bergembira ketika melompat ke udara. Namun, apa yang terjadi kalau lumba-lumba yang tumbuh besar dalam samudera harus dikungkung dalam kandang? O’barry mengungkapkan bahwa lumba-lumba memiliki pemikiran lebih baik mati daripada hidup terkurung, dengan tidak makan dan tidak bergerak. Jadi, manusia bukan satu-satunya yang memiliki kebebasan untuk bunuh diri. Atau dengan kata lain, bukan hanya manusia yang dapat mengartikulasikan kebebasannya, alam juga demikian.
Apa yang membuat manusia spesial?
Satu hal yang sering dilupakan oleh manusia adalah sejarah relasi alam dan manusia di mana alam yang menghidupi manusia, bukan manusia yang menghidupi alam. Kaum antroposentrik menempatkan manusia sebagai pusat peradaban, bahwa peradaban tercipta melalui ide dan gagasan yang berasal dari pemikiran manusia. Kaum antroposentrik yang menempatkan manusia sebagai puncak tertinggi dari kebudayaan merasa tertantang oleh alam dan mengemukakan ide dan gagasan untuk menaklukannya. Alam dikeruk untuk menopang teknologi yang dibuat manusia untuk memenuhi harapan yang sebenarnya jauh dari kebutuhan primer manusia, makan. Alam digunakan sebagai aset kekayaan. Aldo Leopold bahkan menilai kaum ekologi-dangkal yang mengemukakan ide konservasi juga merupakan kaum antroposentrik.
Alam memiliki kedudukan yang berbeda di mata Merleau-Ponty, yang tentunya jauh terbalik dengan dengan pandangan kaum antroposentrik. Kedudukan alam bukan sekedar menjadi latar belakang kehidupan manusia atau menjadi sumber daya, namun alam memiliki eksistensi atas dirinya sendiri dan relasi yang fundamental dengan manusia. Masalahnya, mampukah manusia untuk mengenal alam sebagai sesuatu yang bereksistensi? Manusia memaksakan rasionalitasnya untuk memahami alam. Manusia yang terlanjur antroposentrik cenderung sulit untuk merenungkan keberadaan benda sebagai sesuatu yang terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Pohon akan dianggap berguna apabila ia menghasilkan buah dan menyumbang oksigen dalam kadar yang tinggi. Manusia mendefinisikan pohon melalui karakteristik batangnya, bentuk daunnya, dan merasakan pohon tersebut secara visual. Namun, perenungan yang mendalam akan memberi manusia rasa senang, bahagia, dan kedekatan dengan pemantikan keingintahuan.
Membicarakan relasi manusia dan alam tidak bisa dilepaskan dari perilaku eksploitasi manusia terhadap alam. Alam hanya dianggap sebagai tempat beraktivitas, bahkan lebih ekstrem lagi dianggap semata-mata sebagai sumber daya. Menurut pandangan ekofeminisme, kebudayaan telah membentuk eksploitasi kepada perempuan seperti eksploitasi terhadap alam. Menurut Sherry B. Ortner, semua kebudayaan meyakini bahwa perempuan lebih dekat kepada alam ketimbang laki-laki.
Pertama, fisiologi perempuan “lebih terlibat dalam waktu yang lebih lama” dengan spesies kehidupan; adalah tubuh perempuan yang merawat masa depan kemanusiaan. Kedua, tempat perempuan adalah dalam konteks domestik, tempat “bayi bayi serupa binatang” perlahan ditransformasi menjadi makhluk kultural, serta tempat produk, tumbuhan, dan, binatang, diubah menjadi pangan, sandang, dan papan. Ketiga, psike perempuan yang “dibentuk sesuai fungsi ibu” melalui sosialisasinya sendiri,” cenderung untuk condong ke cara berpikir yang lebih relasional, konkret, dan khusus dibandingkan dengan cara berpikir laki-laki. (Sherry B. Orthner dalam Feminist Thought: 371)
Perempuan adalah menengah dalam kultur kebudayaan. Kedudukannya dikatakan lebih tinggi daripada alam dengan pemikiran bahwa persamaan perempuan dan alam adalah sebagai ibu bagi kehidupan masa depan manusia, namun lebih rendah dari laki-laki yang eksploitatif kepada perempuan dan alam. Dalam pandangan yang pornografis, perempuan ditonton, dikuasai, dan disiksa seksualitasnya sebagai bentuk dari balas dendam atas kecemburuan relasi perempuan dan dominasi alam.
Proses sosiologis perempuan yang dikatakan Orthner membentuk relasional perempuan dan alam menjadi lebih lekat karena persamaan secara bentuk sosiologi dan nasib. Persamaannya ketika dipasrahkan tugas oleh kebudayaan manusia untuk membentuk dan merawat masa depan dunia dan nasib untuk diperlakukan sebagai sumber daya di saat yang sama. Pertanyaan lebih lanjut, mengapa dengan kedudukan perempuan yang dikatakan “lebih tinggi dari alam” masih tidak mampu membuat kebudayaan menyerahkan dominasi laki-laki atas perempuan?. Dengan hubungan relasional yang jauh dengan sifat-sifat alam, laki-laki memaksakan rasionalitasnya untuk memahami alam dan perempuan untuk mendominasinya.
Mengenal Pembangunan Sebagai Produk Antroposentrik
Antroposentrisme adalah pandangan yang memposisikan manusia sebagai pusat kehidupan. Dalam pengertian ini, alam, hewan, dan bahkan makhluk hidup lainnya dianggap bernilai sejauh mereka bermanfaat bagi manusia. Dikutip dari penyataan Saras Dewi, pencerahan abad ke-18 mulai merayakan kemampuan rasionalitas manusia. Manusia menyadari dirinya bebas, dengan kesadaran bahwa rasionalitas mampu membebaskannya dari tirani mitos dan agama. Dengan rasionalitasnya juga, manusia mulai menaklukkan alam untuk dijadikan sebagai sumber daya yang menopang ekosistem kapitalisme revolusi industri. Mengeksplorasi dunia teknologi yang semakin memudahkan kehidupan. Semua berasal dari keistimewaan akal manusia.
Kemampuannya yang lain adalah menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang bereksistensi. Ia mampu menyadari keberadaannya, meragukan keberadaannya, merenungi nasibnya, memikirkan masa depan, dan bahkan memutuskan untuk bunuh diri. Pada pencerahan abad 18, bahkan beberapa agama menyatakan dalam kitabnya bahwa manusia memiliki kuasa atas alam yang dipijaknya. Nafsu manusia untuk menguasai alam tervalidasi karena ada dorongan mitologi yang demikian.
Semakin pintar manusia berinovasi, semakin ketat pengguanaan alam sebagai sumber daya. Permasalahannya adalah pada tataran di mana evolusi manusia tidak pernah mempertimbangkan kemaslahatan alam. Bahwa saat ini, bukan iklim yang memengaruhi kehidupan manusia, bahkan manusia saat ini bisa memengaruhi iklim.
Narasi antroposentrik tidak hanya berakar pada perayaan rasionalitas dan dominasi manusia atas alam, tetapi juga berkelindan erat dengan gagasan dan praktik pembangunan modern. Dalam perspektif ini, pembangunan menjadi proyek agung umat manusia, di mana kemajuan diukur melalui pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan perluasan infrastruktur. Antroposentrisme memosisikan manusia sebagai puncak evolusi dan rasionalitas, sehingga segala kebijakan dan kebudayaan—termasuk pembangunan—diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, tanpa mempertimbangkan keberlangsungan makhluk dan ekosistem lainnya.
Sebagaimana dikritik oleh Vandana Shiva dalam bukunya Staying Alive: Women, Ecology and Development (1989), pembangunan modern sering kali menyamar sebagai proses pembebasan dan kemajuan, padahal ia adalah bentuk lain dari kolonisasi atas alam. Dalam logika pembangunan yang antroposentris, alam bukan lagi entitas yang memiliki nilai intrinsik, melainkan semata-mata sumber daya (resources) yang harus dieksploitasi demi akumulasi kapital dan kepuasan manusia. Gunung dipapras, sungai dibendung, dan hutan dijadikan kawasan industri—semua atas nama pembangunan nasional.
Pembangunan sebagai perwujudan antroposentrisme juga tampak jelas dalam kebijakan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam dokumen RPJMN 2020–2024 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), pertumbuhan ekonomi masih menjadi orientasi utama, yang kemudian memicu proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), pembangunan bendungan, serta ekspansi sawit dan tambang di kawasan-kawasan hutan adat dan lindung. Sebagaimana dikritik oleh Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dalam laporan tahunannya, pembangunan semacam ini acap kali menyingkirkan masyarakat lokal, menghancurkan biodiversitas, dan menciptakan ketimpangan ekologis yang akut (Walhi, 2023).
Dalam kerangka etika lingkungan, Robin Attfield dalam Environmental Ethics: An Overview for the Twenty-First Century (2003) menjelaskan bahwa antroposentrisme dalam pembangunan telah menciptakan bias moral yang serius. Ia menempatkan manusia sebagai satu-satunya entitas yang memiliki hak moral penuh, sementara makhluk lain dan ekosistem hanya dihargai jika berguna bagi manusia. Pandangan ini tidak hanya meminggirkan nilai-nilai ekologis, tetapi juga membenarkan destruksi alam atas nama modernisasi dan kenyamanan hidup.
Lebih lanjut, Bruno Latour, dalam Politics of Nature (2004), mengkritik keras pemisahan antara "masyarakat" dan "alam" yang dihasilkan oleh modernitas dan pembangunan antroposentris. Ia menyatakan bahwa selama manusia terus menganggap dirinya sebagai aktor tunggal dalam panggung planet ini, krisis ekologis akan terus memburuk. Pembangunan yang melepaskan diri dari pertimbangan ekologis adalah pembangunan yang secara fundamental rapuh dan bersifat destruktif.
Krisis iklim hari ini menjadi bukti konkret bahwa proyek pembangunan yang tidak memperhitungkan batas-batas ekologis telah menciptakan ketidakseimbangan planet. Sebagaimana dinyatakan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam laporan AR6 (2023), aktivitas manusia, terutama sektor energi, industri, dan infrastruktur, merupakan penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Artinya, manusia tidak hanya dipengaruhi oleh iklim, tetapi kini juga menjadi aktor yang memengaruhi iklim itu sendiri—sebuah titik balik ekologis yang menegaskan kelebihan dan kesombongan proyek pembangunan antroposentris.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meninjau ulang paradigma pembangunan. Tidak cukup hanya menggaungkan istilah "pembangunan berkelanjutan" jika tetap bersandar pada logika eksploitatif yang sama. Kita perlu membayangkan ulang pembangunan dari perspektif ekosentris atau bahkan biosentris, di mana alam bukan hanya sumber daya, tetapi sesama penghuni planet yang memiliki hak hidup, berkembang, dan dilindungi. Jika tidak, pembangunan akan terus menjadi wajah baru dari kehancuran yang kita ciptakan sendiri.
Permasalahan Proyek Revitalisasi yang Antroposentrik dan Kapitalistik
Revitalisasi Danau Rawa Pening
Danau Rawa Pening adalah sebuah danau alami yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang memiliki nilai strategis baik secara ekologis, ekonomi, maupun sosial-budaya. Sejak era kolonial Hindia Belanda, Rawa Pening telah menjadi kawasan penting untuk perikanan, pertanian pasang surut, dan irigasi. Namun dalam beberapa dekade terakhir, danau ini mengalami degradasi ekologis yang signifikan: pendangkalan yang terus-menerus, invasi gulma air eceng gondok, pencemaran dari aktivitas pertanian dan domestik, serta penurunan daya tampung air.
Overlay peta topografi dari tahun 1918 dengan citra satelit 2021 menunjukkan bahwa luasan danau meningkat hampir dua kali lipat, dari ±1.129 hektare menjadi ±2.228 hektare. Namun perluasan ini bukanlah indikasi pemulihan ekosistem, melainkan akibat dari sedimentasi hebat yang menyebabkan pendangkalan danau dan genangan air menyebar ke lahan pertanian serta permukiman warga sekitar. Di sisi lain, pertumbuhan eceng gondok sejak tahun 1990-an hingga 2010-an mempercepat degradasi danau melalui proses pelapukan biomassa yang mempertebal endapan lumpur dasar danau. Eceng gondok yang sebelumnya juga dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan oleh warga, berubah menjadi simbol problem lingkungan yang kompleks. Produksi sedimentasi akibat pelapukan gulma ini bahkan mencapai 171 ribu ton per tahun pada 2011.
Masalah lain muncul dari aktivitas masyarakat yang tidak diimbangi dengan sistem pengelolaan limbah yang memadai. Limbah rumah tangga, pertanian, dan peternakan dari wilayah tangkapan air (catchment area) telah mencemari dan mempercepat proses eutrofikasi di danau. Bahkan pada tahun 2020, PDAM Tirta Bumi Serasi melaporkan air danau tidak lagi layak untuk konsumsi akibat tingginya kadar senyawa organik dari pembusukan gulma dan limbah domestik.
Situasi ini memicu kekhawatiran pemerintah akan hilangnya fungsi vital danau sebagai penampung air hujan, penyedia air baku, sumber irigasi pertanian, dan pendukung sistem kelistrikan PLTA Jelok. Maka dimunculkanlah wacana revitalisasi Rawa Pening—sebuah proyek pemulihan fungsi ekologis danau dengan pendekatan rekayasa lingkungan berskala besar.
Wacana ini semakin menguat setelah Rawa Pening dinyatakan sebagai salah satu dari 15 Danau Prioritas Nasional pada Kongres Danau Nasional tahun 2016 di Bali. Penetapan ini menandai bahwa negara memandang kondisi Rawa Pening sudah berada dalam tahap kritis dan membutuhkan intervensi serius dari pusat. Dalam kerangka pembangunan nasional, revitalisasi danau ini selanjutnya masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), seiring dengan visi Presiden Joko Widodo untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dengan sektor pariwisata dan konservasi sumber daya air.
Namun, semangat konservasi ini mengandung paradoks. Alih-alih mengakomodasi kepentingan warga yang telah hidup bergantung pada danau selama puluhan tahun, proyek revitalisasi justru menimbulkan bentuk baru dari eksklusi sosial dan konflik agraria. Program ini dikemas dalam pendekatan teknokratik yang minim partisipasi warga, serta mengedepankan intervensi militer dan kementerian teknis seperti PUPR dan BBWS Pemali Juana dalam eksekusinya.
Wacana revitalisasi, yang di permukaan tampak sebagai solusi terhadap krisis ekologi, dalam pelaksanaannya cenderung menggunakan logika antroposentris—di mana lingkungan alam diatur dan dikendalikan demi proyek modernisasi dan ekonomi wisata, dengan mengorbankan ruang hidup komunitas lokal. Maka dari itu, penting untuk menelaah bagaimana kebijakan ini dijalankan, bagaimana struktur hukumnya disusun, serta sejauh mana revitalisasi ini benar- benar membawa manfaat ekologis dan sosial sebagaimana dijanjikan.
Keberjalanan dan Analisis Kebijakan PSN Rawa Pening
Krisis ekologis yang menimpa Rawa Pening telah berlangsung secara bertahap dan sistematis. Sedimentasi massif terjadi akibat erosi dari daerah tangkapan air (DTA) dan pelapukan biomassa eceng gondok. Kapasitas tampung air danau menurun dari 65 juta m³ (1976) menjadi 49 juta m³ (2004). Pendangkalan drastis mengubah bentuk danau dari mangkuk menjadi piring dangkal. Kedalaman danau menyusut dari ±15 meter menjadi ±3 meter dalam kurun waktu beberapa dekade. Perluasan area genangan sebagai akibat sedimentasi menyebabkan lahan pertanian produktif tergenang air danau. Hal ini bukan merupakan peningkatan fungsi danau, tetapi ekspansi kerusakan yang menenggelamkan ruang hidup warga. Pencemaran air berasal dari limbah rumah tangga, peternakan, serta sisa pertanian seperti damen (batang padi) yang mengendap. Air danau menjadi keruh, berbau, dan tidak layak konsumsi. Kerusakan-kerusakan ini menjadi justifikasi teknis bagi pemerintah untuk menjalankan program revitalisasi besar-besaran dengan pendekatan rekayasa ekologis.
Wacana revitalisasi Rawa Pening mendapatkan legitimasi politik dan yuridis setelah danau ini ditetapkan sebagai salah satu dari 15 Danau Prioritas Nasional oleh pemerintah pusat. Penetapan tersebut diikuti dengan masuknya Rawa Pening ke dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN), yang berarti program revitalisasi ini memiliki kedudukan istimewa secara hukum, administratif, dan fiskal. Beberapa kebijakan kunci yang menopang status revitalisasi Rawa Pening sebagai PSN antara lain:
Peraturan Presiden (Perpres) No. 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional, yang menyebutkan bahwa program ini merupakan bentuk pengendalian kerusakan dan pemulihan fungsi danau demi kesejahteraan berkelanjutan.
Keputusan Menteri PUPR No. 365/KPTS/M/2020, yang menetapkan garis sempadan Danau Rawa Pening sejauh 50 meter dari elevasi muka air tertinggi (463,3 mdpl). Keputusan ini memperluas luasan danau menjadi
2.507 hektare, yang terdiri atas:
Badan air danau : 2.387 ha
Sempadan: 120 ha
Namun, berdasarkan Perda RT RW Kabupaten Semarang, luas badan air danau yang sah hanya 1.516 ha, sehingga ada selisih hampir 991 ha yang kini masuk zona sempadan danau versi pemerintah pusat. Selisih ini menimbulkan tumpang-tindih dengan wilayah pemukiman dan sawah produktif warga, termasuk yang telah memiliki sertifikat hak milik (SHM). Yang menjadi sorotan penting dalam konteks ini adalah keberlakuan aturan khusus dalam PSN yang berimplikasi terhadap status hukum tanah. Berdasarkan Pasal 18 Peraturan Presiden No. 56 Tahun 2018 tentang Tata Cara Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, disebutkan bahwa:
"Dalam hal terjadi tumpang tindih atau ketidaksesuaian status hak atas tanah dengan lokasi proyek, maka dilakukan penyesuaian dan pengalihan hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan aturan turunannya, menyebut bahwa:
"Tanah dengan hak milik sekalipun dapat dikuasai negara untuk kepentingan umum melalui proses pembebasan, pengadaan, atau relokasi, dengan atau tanpa kompensasi penuh."
Dalam praktiknya, status PSN membuat proyek revitalisasi berada di atas prioritas hukum pertanahan biasa. Sertifikat tanah, SPPT PBB, maupun bentuk legalitas formal lainnya dapat kehilangan perlindungan hukum bila lahan tersebut dinyatakan masuk ke dalam zona pengembangan PSN. Hal ini yang terjadi pada masyarakat di sekitar Rawa Pening: lahan mereka yang sebelumnya dilindungi hukum kini dianggap sebagai bagian dari sempadan danau, sehingga akses dan kepemilikannya dibatasi secara sepihak melalui pemasangan patok, larangan pemanfaatan, dan ancaman relokasi paksa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perumusan kebijakan revitalisasi lebih mengutamakan pendekatan teknokratik dan terpusat, serta mengabaikan prinsip- prinsip keadilan agraria dan hak konstitusional warga atas tanahnya. Negara, dalam kerangka PSN, bertindak bukan sebagai fasilitator yang adil, tetapi sebagai otoritas tunggal yang menentukan nilai, fungsi, dan legalitas tanah warga. Revitalisasi yang dipaksakan secara top-down melahirkan berbagai ketegangan sosial dan resistensi:
Penggusuran ruang hidup petani dan nelayan
Lebih dari 1.000 hektare sawah milik warga masuk ke dalam zona sempadan baru dan tidak bisa digarap lagi. Sekitar 2.000 petani di 14 desa tidak bisa panen selama ±3 tahun karena tergenang, dengan potensi kerugian lebih dari Rp 40 miliar per musim panen.
Minimnya sosialisasi dan ketiadaan kompensasi
Tidak ada penjelasan langsung kepada warga mengenai penetapan sempadan. Banyak yang baru mengetahui lahan mereka masuk zona konservasi setelah dipasangi patok dan papan larangan. Kompensasi yang dijanjikan berupa bantuan bibit, terpal, dan beras tidak sebanding dengan kerugian ekonomi dan psikologis warga.
Resistensi formal dan simbolik masyarakat
Warga tergabung dalam Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) mengirim surat ke Kementerian PUPR dan DPRD. Mereka mengadakan doa bersama, orasi petani, serta pemasangan spanduk yang menolak Kepmen 365. Salah satu spanduk berbunyi: “Jangan Tenggelamkan Sawah dan Kampung Kami”.
Militer Sebagai Pemangku Proyek
Salah satu anomali utama dalam pelaksanaan revitalisasi Danau Rawa Pening adalah keterlibatan aktif institusi militer (TNI) sebagai pemangku kepentingan teknis dalam program yang seharusnya berorientasi pada ekologi, infrastruktur sipil, dan tata ruang. Berdasarkan dokumen resmi dan pelacakan kebijakan lapangan, pada 11 Februari 2022, BBWS Pemali Juana dan Kodam IV/Diponegoro menandatangani kontrak kerja sama revitalisasi Danau Rawa Pening. Penandatanganan dilakukan antara PPK OP SDA 4 (BBWS) dan Aster Kasdam IV/Diponegoro, Brigjen Brantas Suharyo. Kontrak mencakup kerja teknis di badan danau dan sempadan: pembersihan eceng gondok, pembongkaran keramba jaring apung (KJA), pemasangan patok sempadan, dan pengamanan pelaksanaan revitalisasi.
Pada 15 Februari 2022, dilaksanakan Rapat Koordinasi di Kodam IV/Diponegoro, dihadiri oleh Pangdam, Bupati Semarang, dan Kepala BBWS Pemali Juana. Di forum ini ditegaskan bahwa peran militer bukan sekadar bantuan teknis, tetapi sebagai bagian dari "pengamanan proyek dan percepatan eksekusi di lapangan". Tugas-tugas tersebut termasuk pemasangan patok sempadan di atas lahan bersertifikat milik warga.
Keterlibatan militer dalam proyek sipil seperti revitalisasi Rawa Pening merupakan bentuk militerisasi pembangunan yang telah banyak dikritik dalam studi-studi antropologi dan ekologi politik. Ada beberapa alasan utama mengapa aktor militer dimasukkan:
Kebutuhan Percepatan Eksekusi PSN
Sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), revitalisasi Rawa Pening memerlukan pelaksanaan cepat, bebas hambatan hukum dan sosial. Karena TNI tidak tunduk pada birokrasi sipil biasa dan memiliki kekuatan struktural, kehadiran mereka dianggap dapat mengatasi resistensi warga tanpa melalui proses mediasi panjang, menyediakan tenaga teknis lapangan dalam jumlah besar, menyokong legitimasi negara dengan pendekatan “keamanan nasional”.
Antisipasi terhadap Penolakan Warga
Proyek ini menuai penolakan luas dari masyarakat, terutama setelah warga menyadari lahan bersertifikat mereka dipasangi patok sempadan secara sepihak, mereka kehilangan lahan pertanian selama tiga tahun, dan tidak ada mekanisme ganti rugi yang adil. Militer dimasukkan untuk meredam potensi konflik horizontal dan unjuk rasa, bukan untuk menyelesaikan masalah substantif. Ini adalah bentuk pengamanan simbolik sekaligus teknokratik atas proyek.
Legitimasi Terselubung terhadap Penggusuran
Kehadiran militer juga bertindak sebagai aktor legitimasi paksa, terutama ketika negara hendak menertibkan bangunan atau sawah warga yang masuk sempadan terdapat kebutuhan untuk mendorong "normalisasi" tanpa partisipasi wargaa. Ada kebutuhan untuk memperlihatkan kepada publik bahwa proyek berjalan “aman dan lancar.”
Berdasarkan laporan lapangan dan narasi warga, pemasangan patok dilakukan tanpa musyawarah dan disertai dengan plang pelarangan pemanfaatan lahan. Terdapat kasus pengusiran tidak langsung melalui kenaikan elevasi air, yang menyebabkan sawah tergenang dan warga tidak bisa menanam. Warga yang tergabung dalam Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) menyampaikan bahwa tidak ada satu pun permintaan audiensi yang ditindaklanjuti oleh BBWS maupun Pemprov, bahkan setelah berkali-kali menyurati Kementerian PUPR.
Meskipun tidak ditemukan laporan kekerasan fisik langsung, pola represif ini bersifat struktural dan administratif, khas apa yang disebut oleh Michel Foucault sebagai governmentality coercive—pemaksaan melalui kebijakan yang seolah sah, tetapi menyingkirkan warga dari ruang hidup mereka secara sistematis.
Keterlibatan militer dalam proyek sipil seperti revitalisasi Rawa Pening memperlihatkan bahwa pendekatan negara terhadap konservasi masih menggunakan logika ketertiban (order) daripada logika keadilan (justice). Implikasinya adalah reduksi ruang sipil, di mana masyarakat tidak diberi ruang untuk berunding, menegosiasikan hak, atau menolak secara formal. Pembungkaman aspirasi, karena protes seringkali dianggap ancaman terhadap ketertiban umum. Transformasi proyek ekologi menjadi proyek kontrol sosial, di mana tata lingkungan tidak lagi dimaknai sebagai bagian dari kehidupan rakyat, melainkan alat kuasa negara.
Anomali dalam revitalisasi Rawa Pening tidak hanya terlihat dari eksklusi atas lahan, tetapi juga dari strategi militerisasi proyek sipil yang justru memperdalam luka sosial. Kehadiran TNI di tengah proses pemasangan patok, pembongkaran keramba, dan pengusiran tidak langsung melalui elevasi air, memperlihatkan bahwa proyek ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan ekologis dan hak atas tanah. Dalam konteks inilah, revitalisasi tidak hanya menjadi proyek lingkungan, tetapi juga menjadi proyek kuasa—yang menata bukan hanya danau, tetapi juga siapa yang berhak tinggal, bercocok tanam, dan hidup di sekitarnya.
Membaca PSN Rawa Pening Sebagai Nafsu Merusak Bumi
Menurut Saras Dewi dalam bukunya Ekofenomenologi: Kritik atas Antroposentrisme dan Ketiadaan Relasi Etis dengan Alam, ekofenomenologi adalah pendekatan filosofis yang melihat hubungan manusia dan alam secara etis, mendalam, dan eksistensial. Ekofenomenologi tidak melihat alam sebagai objek pasif yang bisa dimanipulasi, tapi sebagai entitas yang memiliki makna dan nilai intrinsik. Saras mengangkat pentingnya kesadaran ekologis yang fenomenologis, yaitu menyadari keterlibatan kita yang mendalam dan tak terpisahkan dari alam.
Salah satu konsep kunci dalam pendekatan ini adalah disekuilibrium— keadaan tidak seimbang antara manusia dan alam yang muncul akibat pola pikir antroposentris, manusia menganggap dirinya sebagai pusat dan tujuan dari segala sesuatu di alam semesta. Dalam kasus PSN Rawa Pening, ketidakseimbangan antara manusia dan alam tidak hanya muncul sebagai akibat dari pencemaran atau sedimentasi. Ia justru diproduksi secara sistematis melalui kebijakan negara yang mengabaikan hubungan historis, ekologis, dan sosial antara masyarakat dan lingkungan alamnya.
Revitalisasi yang diklaim untuk “menyelamatkan” danau justru melahirkan serangkaian tindakan teknokratis dan militeristik: pemasangan patok, pembongkaran keramba, penggenangan lahan produktif, dan pembatasan akses warga ke ruang hidupnya. Ini merupakan bentuk ketidakseimbangan, karena:
Alam dijadikan obyek perbaikan teknis, bukan relasi hidup.
Manusia lokal (petani, nelayan) yang justru hidup berdampingan dengan danau, dianggap sebagai masalah, bukan bagian dari solusi.
Seperti yang dikatakan Saras Dewi, “Krisis lingkungan bukan hanya disebabkan oleh rusaknya ekosistem, tetapi juga oleh rusaknya relasi antara manusia dan alam.” Ketika sawah, kampung, dan sumber ekonomi warga dipatok sebagai sempadan yang “ilegal”, negara secara langsung memutus relasi ekologis dan sosial yang sudah berlangsung turun-temurun. Ini bukan hanya soal tanah, tapi juga tentang:
Pengetahuan lokal mengenai musim dan fluktuasi air,
Cara warga mengelola eceng gondok sebagai kerajinan dan pupuk,
Praktik hidup selaras dengan danau yang tidak tercatat dalam dokumen formal.
Semua relasi itu diabaikan karena kebijakan hanya mengakui apa yang bisa diukur secara teknis dan legal formal.
Dalam kerangka ekofenomenologi Saras Dewi, ini adalah bentuk paling nyata dari disequilibrium—ketika upaya memperbaiki alam justru dilakukan dengan logika yang memperparah keterputusan antara manusia dan lingkungan hidupnya.
“Alam bukan benda mati yang bisa dipotong-potong secara spasial, administratif, atau ekonomis. Ia adalah ruang keberlangsungan eksistensial yang menghidupi manusia dan seluruh ciptaan.”
Pendekatan Saras Dewi memberikan pijakan penting untuk merefleksikan ulang proyek Rawa Pening. Dalam kerangka ekofenomenologi:
Revitalisasi sejati bukan soal pengerukan dan pembersihan, melainkan pemulihan relasi antara manusia dan danau—dengan cara mendengar, mengakui, dan melibatkan pengalaman ekologis masyarakat lokal.
Proyek konservasi harus berbasis pada kesadaran ekologis etis, bukan semata-mata indikator administratif dan estetika fisik.
Setiap kebijakan yang menyangkut alam seharusnya diawali dari kesadaran bahwa manusia bukan pemilik, melainkan bagian dari ekosistem yang saling terikat.
Kasus PSN Rawa Pening adalah contoh konkret bagaimana antroposentrisme yang membalut proyek konservasi justru menciptakan ketidakseimbangan ekologis baru. Danau dibenahi, tetapi warga disingkirkan. Alam dipulihkan, tetapi kehidupan sosialnya dimusnahkan. Padahal, ekologi dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan. Ekofenomenologi mengingatkan kita bahwa tanpa pemulihan hubungan antara manusia dan alam—berdasarkan etika, empati, dan pengalaman hidup— setiap upaya pelestarian hanya akan menjadi kekerasan yang disamarkan.
Kecenderungan Untuk Membangun Secara Fisik dan Melupakan Manusia Lokal Sebagai Sentra Ekologi
Secara historis, kebijakan pembangunan di Indonesia—terutama sejak Orde Baru hingga era proyek strategis nasional (PSN)—cenderung mendewakan pembangunan fisik sebagai tanda kemajuan. Ini disebut sebagai paradigma fisik-sentris, yaitu pembangunan diukur dari jalan, bendungan, taman wisata, trotoar, dan gedung, bukan dari keberdayaan sosial. Sukses ditentukan oleh serapan anggaran dan progres infrastruktur, bukan pada kesejahteraan kolektif dan kapasitas manusia lokal. Proyek besar seperti revitalisasi Rawa Pening dijalankan dengan logika ini: penataan danau, pemasangan patok, penggusuran, dan pembangunan ekowisata, tanpa memperhatikan siapa yang akan menjalani dan merawatnya ke depan. Rakyat seringkali bukan dilibatkan, tapi hanya disediakan tempat untuk menyaksikan proyek yang dibangun bukan untuk mereka.
Dalam konteks revitalisasi Rawa Pening, kebijakan pembangunan berjalan secara timpang. Pembangunan fisik sangat jelas, jogging track, tanggul inspektif, pengembangan kawasan Bukit Cinta, dan lain-lain ditopang oleh anggaran negara ratusan miliar rupiah dari APBN dan APBD. Sementara pembangunan manusia lemah dan simbolik saja. Pelatihan kerja minim, tidak jelas skemanya. Partisipasi masyarakat dibatasi pada peran pasif: buruh harian, pembersih danau, atau pedagang di pinggir tempat wisata. Tidak ada skema nyata untuk mengembangkan kapasitas lokal: pendidikan ekowisata, koperasi desa wisata, pelatihan digital, dst. Masyarakat hanya “diserap” setelah proyek jadi, bukan “dibentuk” sejak proses perencanaan.
Apakah Pemerintah Bisa Melakukan Pembangunan Berbasis SDM? Jawabannya bisa, sangat bisa—bahkan harus. Tetapi itu membutuhkan pergeseran paradigma dari pembangunan teknokratik ke pembangunan partisipatif-transformatif. Beberapa poin penting agar pembangunan berbasis sumber daya manusia bisa dilakukan:
Pengakuan atas pengetahuan lokal
Petani dan nelayan Rawa Pening memiliki pengetahuan ekologis dan teknis yang sangat kaya. Mereka tahu pola pasang surut, siklus pertumbuhan eceng gondok, kondisi sedimentasi alami, dan cara pemanfaatan yang lestari. Alih- alih dianggap sebagai masalah, mereka harus dijadikan mitra dan ahli lokal.
Pendidikan kontekstual dan pelatihan adaptif
Pelatihan kerja bukan hanya membuat masyarakat bisa “melayani wisatawan”, tetapi membentuk kewirausahaan ekologis: pengelolaan homestay, pemandu wisata berbasis sejarah lokal, koperasi kerajinan eceng gondok, dll. Pemerintah harus hadir lewat skema pendidikan kontekstual, seperti Sekolah Lapang Petani atau Akademi Ekowisata Rakyat.
Kebijakan afirmatif bagi kelas bawah
Pemerintah bisa menyediakan modal kerja awal, subsidi koperasi, atau jaminan sosial ekologis (sejenis Jaminan Ekologi Desa). Ini akan memberi masyarakat kontrol atas proses ekonomi, bukan hanya jadi pekerja rendahan dalam sistem kapital wisata.
Penyusunan roadmap pembangunan bersama masyarakat
Harus ada “perencanaan terbalik” (reverse planning): bukan dari pusat ke desa, tapi dari komunitas ke sistem. Rencana besar seperti PSN Rawa Pening harus dirumuskan melalui musyawarah desa, audiensi terbuka, dan forum rakyat.
Mengapa Negara Cenderung Tidak Melakukan Itu?
Karena pembangunan fisik lebih mudah dikontrol dan diukur: ada target volume, kontraktor, dan anggaran yang jelas. Pembangunan SDM membutuhkan waktu panjang, kesabaran, dan pembagian kuasa—sesuatu yang seringkali bertentangan dengan logika kekuasaan dan efisiensi birokrasi. Ada ketakutan negara terhadap partisipasi rakyat yang terlalu kuat, karena bisa berujung pada tuntutan hak, koreksi struktural, bahkan pembongkaran tatanan kapitalisme lokal. Pembangunan yang hanya berorientasi pada fisik, tanpa memperhatikan pembangunan manusia, akan selalu melahirkan ketimpangan struktural. Rakyat hanya akan berpindah dari petani menjadi buruh, dari pengelola tanah menjadi penjaga gerbang wisata.
Perspektif Patriarki yang Menebal Akibat Keberlangsungan PSN Rawa Pening Tahap 1 dan di Masa Depan
Efek Penutupan Pintu Air Tuntang Terhadap Kinerja Kerja Produksi dan Reproduksi Perempuan: Menggantikan Peran Suami Sembari Mengampu Tugas Domestik
Menurut Saras Dewi dalam Ekofenomenologi: Kritik atas Antroposentrisme dan Ketiadaan Relasi Etis dengan Alam (2015), dominasi atas alam tidak bisa dilepaskan dari dominasi atas perempuan. Dalam masyarakat agraris dan desa, perempuan seringkali memiliki relasi langsung dengan alam, dengan persamaan alam sebagai perawat kemanusiaan dan ibu sebagai penjaga anak-anaknya. Perempuan menjadi lebih dekat dengan apa yang dirasakan oleh alam sehingga memiliki relasi secara spiritual yang lebih kental. Perempuan juga seringkali tidak dianggap sebagai subjek utama pembangunan dan harus menanggung beban ganda ketika bencana ekologis dan pembangunan eksklusi terjadi.
Setelah penutupan Pintu Air Tuntang dalam tahap awal revitalisasi Rawa Pening (2019–2022), dampak ekonomi segera terasa: lebih dari 2.000 kepala keluarga dari 14 desa di sekitar danau kehilangan akses terhadap lahan pertanian dan tambak, yang sebelumnya menjadi sumber nafkah utama. Lahan produktif yang digenangi air secara permanen membuat petani tidak bisa menanam, dan nelayan kehilangan area tangkap ikan, terlebih setelah keramba jaring apung (KJA) dibongkar atas nama “penyelamatan ekosistem”. Dalam situasi ini, perempuan—khususnya ibu rumah tangga—tidak hanya terdampak secara sekunder, tetapi juga menjadi aktor utama dalam upaya mempertahankan ekonomi rumah tangga. Namun bentuk partisipasi ekonomi ini tidak datang dalam ruang yang adil, melainkan dalam struktur pembebanan reproduktif yang disamarkan oleh narasi pembangunan.
Ketika laki-laki tidak lagi bisa menanam padi atau memelihara ikan, maka tugas menopang ekonomi dialihkan ke perempuan. Banyak ibu rumah tangga yang sebelumnya berdagang kecil, membuat kerajinan eceng gondok, atau bekerja harian—terpaksa menambah jam kerja, mencari utangan, atau menjual aset keluarga. Dalam banyak kasus, mereka bekerja dalam kondisi informal dan tidak terlindungi, bahkan tanpa pengakuan sosial sebagai “pencari nafkah utama”.
Dalam struktur sosial desa yang masih patriarkal, perempuan tetap diposisikan sebagai penjaga rumah, pengasuh anak, dan pengurus dapur—terlepas dari beban ekonomi baru yang harus mereka pikul. Akibatnya, perempuan mengalami beban ganda bahkan beban tiga kali lipat; domestik, ekonomi, dan sosial sebagai pengganti suami dalam mengurus komunitas. Perempuan yang sebelumnya hanya berdagang kecil atau merawat rumah dipaksa masuk ke ruang kerja informal yang tidak stabil. Banyak yang bekerja sebagai buruh cuci, pembantu rumah tangga, penjual makanan keliling, pemintal eceng gondok—semua pekerjaan yang tidak dilindungi hukum dan rentan eksploitasi. Mereka juga sering menjadi penyedia pinjaman mikro informal, meminjam uang ke tetangga atau koperasi simpan pinjam dengan bunga tinggi.
Dalam masyarakat desa patriarkal, kerja rumah dianggap kewajiban alami perempuan, sehingga ketika mereka juga mencari nafkah, kerja produktifnya tidak diakui sebagai kerja ekonomi. Mereka tetap harus memasak, merawat anak dan orang tua, meski pulang kerja dalam kondisi kelelahan. Ini adalah apa yang disebut oleh feminis Indonesia, Julia Suryakusuma (1996), sebagai state ibuism: negara dan masyarakat menempatkan perempuan dalam posisi sebagai pelengkap, pelayan, dan pengasuh, tanpa memberi ruang politik dan ekonomi nyata dalam kebijakan.
“Perempuan diminta kuat, tapi tidak diberi ruang untuk berdaya.” — Marisye Sitorus, Perempuan dan Lingkungan Hidup, 2007.
Tidak ada forum resmi yang secara khusus melibatkan perempuan dalam konsultasi proyek revitalisasi. Forum-forum desa yang ada pun didominasi oleh laki-laki, dan dalam budaya lokal, perempuan enggan bersuara karena takut dianggap tidak sopan atau melanggar norma adat. Padahal, perempuanlah yang paling terdampak secara mikro: kehilangan akses air bersih, pasar, dan ruang aman untuk kerja.
Ekofeminisme memandang bahwa penindasan terhadap alam dan perempuan bersumber dari sistem nilai yang sama: patriarki dan kapitalisme. Keduanya mengobjektifikas, baik alam maupun tubuh perempuan dianggap sebagai objek eksploitasi, menginstrumentalisasi; alam dan perempuan hanya dihargai jika “produktif”. Menyisihkan pengalaman lokal pengetahuan perempuan, seperti kalender tanam, pengolahan eceng gondok, atau pengelolaan air minum, dianggap remeh atau tidak ilmiah.
Peluang dan Ancaman Kerja Perempuan dalam Ranah Ekowisata
Ketika kawasan danau itu perlahan berubah menjadi peta-peta zonasi, trotoar, tanggul, dan koridor wisata, sebagian masyarakat desa mulai memahami bahwa yang tengah dibangun bukan hanya danau, tapi juga wajah baru dari kampung mereka. Rawa Pening, yang dulu berdenyut sebagai ruang produksi dan penghidupan, kini mulai berdetak sebagai pusat konsumsi dan pertunjukan. Di dalam narasi besar revitalisasi dan ekowisata, perempuan tak disebut secara eksplisit, namun keberadaan dan tubuh mereka dituliskan diam-diam dalam garis- garis proyek itu.
Bukan menjadi rahasia bahwa ketika proyek ekowisata berkembang—resort dibuka, jogging track dibangun, kios oleh-oleh didirikan—maka yang akan mengisi ruang-ruang kerja itu sebagian besar adalah perempuan. Mereka akan menjadi penjaga toilet, penjaja keripik, pelayan warung kopi, pembersih vila, pengasuh anak, atau penghibur bagi wisatawan. Dan justru karena itu, narasi pemberdayaan yang dibawa oleh pembangunan ini menyimpan potensi bahaya yang halus namun dalam bagi kerja dan tubuh perempuan.
Dalam masyarakat desa seperti di sekitar Rawa Pening, perempuan hidup dalam dua dunia yang saling menindih: dunia domestik yang tak terlihat tapi mengikat, dan dunia publik yang terbuka tapi berat sebelah. Sebelum revitalisasi, banyak perempuan telah bekerja—menyulam eceng gondok, menjual hasil kebun, membantu di sawah atau tambak. Namun pekerjaan itu, meski informal, menyatu dengan irama hidup mereka. Mereka bisa merawat anak sambil memintal, memasak sambil berdagang kecil, menyatu dalam siklus musim dan keluarga.
Ketika danau dijadikan pusat wisata, ruang kerja perempuan ditarik keluar dari komunitas dan masuk ke dalam sistem kerja yang terstruktur, padat waktu, dan terpisah dari kerja reproduksinya. Mereka tidak lagi bisa mengatur waktu kerja berdasarkan kebutuhan rumah, karena pekerjaan kini datang dari luar, dari jam operasional vila, dari perintah atasan, dari target produksi toko suvenir. Ini adalah perpindahan besar yang tak selalu tampak di atas kertas: dari kerja reproduksi komunitas ke kerja produksi kapital wisata.
Perempuan kini harus menjadi “pekerja” dalam arti sistemik, tapi tetap menjadi “ibu dan istri” dalam tuntutan sosialnya. Mereka pulang dari kerja dengan tubuh lelah, namun tetap harus menyiapkan makan malam, memandikan anak, dan menjaga rumah. Kerja ganda menjadi kerja rangkap, dan kelelahan menjadi struktur yang dianggap normal. Lebih dari itu, tubuh perempuan dalam kerja wisata cenderung distandarisasi dan dieksploitasi secara simbolik maupun praktis. Mereka dituntut tampil ramah, bersih, menarik, dan jinak terhadap tamu atau pengunjung. Ini bukan hanya soal kerja, tetapi tentang bagaimana kapitalisme wisata membentuk ulang peran gender menjadi instrumen pelayanan, bukan relasi timbal balik yang setara.
Dalam struktur pembangunan seperti ini, perempuan seolah diberi kesempatan, tapi tidak diberi kekuasaan. Mereka masuk ke pasar, tapi tidak memiliki tanah. Mereka dipekerjakan, tapi tidak punya suara dalam penyusunan proyek. Mereka dilibatkan, tapi hanya untuk menopang sistem yang tak memberi mereka kendali. Kerja reproduksi mereka tidak pernah dihitung, hanya diambil sebagai syarat agar ekonomi tetap hidup di atas beban mereka. Ekofeminisme melihat hal ini bukan sebagai ironi belaka, tetapi sebagai bentuk penindasan struktural yang bersifat ekologis dan gender sekaligus. Alam dan tubuh perempuan sama-sama dikeruk, diatur, dan dimanfaatkan dalam struktur maskulin yang menyamar sebagai kemajuan. Revitalisasi Rawa Pening, jika tidak diintervensi dengan perspektif keadilan gender, bukan hanya akan menenggelamkan sawah dan tambak, tapi juga menenggelamkan waktu, tenaga, dan martabat perempuan di desa-desa sekitarnya. Pembangunan yang mengklaim menyelamatkan danau, bisa jadi malah memperdalam beban dan luka bagi mereka yang selama ini menjaganya dalam diam.
Feminisasi Kerja dalam Sistem Ekowisata
Dalam rencana jangka panjang proyek revitalisasi, kawasan Rawa Pening akan dikembangkan sebagai destinasi wisata prioritas, termasuk kawasan Bukit Cinta, area jogging track dan tanggul inspeksi, serta zona wisata air. Pemerintah menyatakan bahwa masyarakat lokal akan “dilibatkan” sebagai pekerja atau pelaku usaha mikro.
Namun, menurut data dari proyek yang tercantum dalam dokumen Tracking BBWS Pemali Juana, keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek awal hanya bersifat padat karya sementara, dan setelahnya, lapangan kerja yang tersedia berada di sektor jasa informal—seperti warung, parkir, toilet, atau toko suvenir. Jenis pekerjaan ini didominasi oleh tenaga kerja perempuan karena sifat kerjanya yang dianggap “cocok” dengan karakter perempuan: sabar, bersih, melayani, ramah. Namun, feminisme melihat klaim ini bukan sebagai fakta biologis, melainkan sebagai konstruksi sosial yang melegitimasi subordinasi gender.
Seperti dijelaskan Sylvia Walby dalam Theorizing Patriarchy (1990), patriarki bekerja dalam enam struktur, salah satunya adalah segregasi pasar kerja, yaitu pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yang mempersempit ruang kerja perempuan ke wilayah-wilayah berupah rendah, tidak aman, dan tidak berpangkat. Dalam konteks Rawa Pening, perempuan akan dipekerjakan dalam ruang tanpa jaminan kerja, tanpa perlindungan hukum, dan dengan upah rendah. Mereka juga tidak punya akses terhadap perencanaan proyek wisata atau distribusi hasil ekonomi makro dari investasi wisata tersebut. Hal ini menegaskan bahwa perempuan hanya dilibatkan sebagai “tenaga kerja murah” dalam sistem yang mereka tidak miliki.
Sebagaimana ditulis oleh Mariarosa Dalla Costa dan Selma James dalam The Power of Women and the Subversion of the Community (1972), kerja rumah tangga yang dilakukan perempuan adalah bentuk kerja ekonomi yang tidak diakui negara—karena tidak menghasilkan nilai tukar langsung. Ketika perempuan desa Rawa Pening harus menambah kerja di sektor wisata atau informal, mereka tetap harus menjalankan:
Tugas domestik, yaitu memasak, mencuci, merawat anak dan orang tua,
Tugas sosial, yaitu hadir dalam arisan, hajatan, dan aktivitas desa,
Tugas moral, yaitu menjadi “penopang emosi” keluarga ketika kepala rumah tangga kehilangan pekerjaan.
Beban ini dikenal dalam teori feminisme sebagai “beban ganda” (double burden) dan dalam konteks ekonomi informal menjadi “triple burden”—kerja rumah, kerja ekonomi, dan kerja sosial. Ketika tidak ada jaminan sosial atau skema pendukung dari negara, perempuan terjebak dalam spiral kelelahan struktural.
Ekofeminisme, sebagai aliran yang menghubungkan penindasan terhadap alam dan perempuan, melihat proyek seperti revitalisasi Rawa Pening sebagai wajah baru kolonisasi ganda: kolonisasi terhadap tubuh alam dan tubuh perempuan. Menurut Saras Dewi (2015), proyek konservasi dan pembangunan cenderung mengabaikan pengalaman perempuan desa yang memiliki relasi ekologis yang sangat konkret dengan lingkungan hidup mereka. Dalam revitalisasi Rawa Pening:
Perempuan kehilangan sumber daya yang biasa mereka kelola (tanaman tepi danau, air bersih, ruang untuk kerajinan).
Pengetahuan ekologis mereka tidak diundang dalam perencanaan: kapan danau mengalami pasang surut, bagaimana tanaman merambat memberi tempat bertelur bagi ikan, atau cara mengolah eceng gondok menjadi produk ekonomi.
Tubuh mereka menjadi sasaran kerja dan standar estetika wisata: harus bersih, ramah, cantik, tanpa suara politik.
Seperti disampaikan oleh Vandana Shiva dalam Staying Alive (1988):
“Pembangunan modern telah menjadi proyek maskulin yang memaksa perempuan untuk bekerja lebih keras demi menyelamatkan sistem yang menyingkirkan mereka.”
Untuk menciptakan pembangunan yang adil bagi perempuan desa Rawa Pening, revitalisasi harus:
Mengakui kerja reproduksi dan ekonomi perempuan sebagai kerja strategis yang layak dihitung dan dilindungi.
Mengundang perempuan ke dalam perencanaan proyek dan tata kelola ekowisata.
Menciptakan ekosistem sosial ekonomi berbasis komunitas: koperasi perempuan, sistem bagi hasil, pendidikan kontekstual, dan jaminan sosial.
Menempatkan perempuan bukan sebagai buruh di proyek wisata, tetapi sebagai pemilik dan penjaga ekosistem danau.
Tanpa itu, proyek revitalisasi ini hanya akan menjadi satu lagi narasi pembangunan yang menyisakan lelah di punggung perempuan, sambil menyebutnya sebagai “kemajuan”.
Domestikasi Perempuan dan Alam dalam PSN Rawa Pening
Dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Rawa Pening, tubuh danau dipetakan ulang, dimasukkan ke dalam sistem zonasi, ditata melalui garis sempadan, ditarik ke dalam rencana konservasi dan destinasi wisata nasional. Di atas kertas, alam ditampilkan sebagai entitas yang perlu diselamatkan—sementara di lapangan, ia sedang didomestikasi. Danau tidak lagi menjadi ruang hidup yang tumbuh bersama warga, tetapi diubah menjadi kawasan yang harus taat pada logika estetika, ekonomi, dan keamanan. Penataan sempadan, pembongkaran keramba, pembersihan gulma secara sporadis, serta pembangunan jogging track dan area wisata, adalah bagian dari proses menjinakkan alam agar sesuai dengan imajinasi pembangunan modern.
Namun, proses domestikasi ini tidak hanya terjadi pada danau. Ia juga terjadi—dengan cara yang lebih senyap namun menyakitkan—pada perempuan desa. Setelah penutupan pintu air Tuntang, banyak kepala keluarga kehilangan pekerjaan di sektor pertanian dan perikanan. Ketika fungsi danau berubah, bukan hanya lahan yang hilang. Waktu, tenaga, dan daya reproduktif rumah tangga juga terguncang. Dalam kondisi ini, perempuan terdorong keluar dari ranah domestik menuju kerja ekonomi informal, bukan sebagai bentuk pembebasan, tapi sebagai strategi bertahan hidup. Mereka menjahit, menjual makanan, membersihkan penginapan, menjaga toilet umum—semua dalam sistem kerja wisata yang mereka tidak miliki, tidak atur, dan tidak dapat kendalikan.
Namun yang lebih ironis adalah: di tengah kerja ekonomi tambahan itu, kerja domestik mereka tetap dianggap “tugas alami”. Mereka tetap memasak, mengasuh, merawat—tanpa istirahat dan tanpa upah. Sistem sosial patriarkal tidak memberikan kelonggaran. Dalam istilah feminisme, ini adalah bentuk beban ganda (double burden) bahkan beban tiga kali lipat (triple burden).
Menurut ekofeminis Vandana Shiva (1988), domestikasi alam dan perempuan merupakan dua sisi dari sistem nilai yang sama: keduanya dianggap sebagai objek pendukung kehidupan manusia (maskulin), bukan sebagai subjek yang setara. Saras Dewi (2015), dalam konteks Indonesia, menyebut bahwa dalam pembangunan modern, perempuan sering diminta berpartisipasi hanya untuk memastikan kelancaran sistem yang mereka tidak punya suara di dalamnya.
Hal yang terjadi di Rawa Pening memperlihatkan ini dengan sangat jelas. Pembangunan dilaksanakan tanpa konsultasi yang adil terhadap komunitas perempuan. Tidak ada forum perencanaan ekowisata yang secara khusus membahas beban kerja perempuan. Tidak ada pengakuan atas kerja perawatan ekologi yang selama ini dijalankan secara diam-diam oleh para ibu dan perempuan tua—dari merawat tanaman pinggiran danau, mengolah eceng gondok, hingga menyediakan air bersih bagi keluarga saat danau tercemar.
Mereka—seperti danau itu sendiri—diatur, disapu, dan dijadikan bersih, agar dapat “ditampilkan” sebagai bagian dari keberhasilan negara dalam mengelola sumber daya. Mereka tidak boleh menuntut hak atas tanah. Tidak boleh memprotes elevasi air. Tidak boleh menolak bentuk-bentuk kerja baru yang disiapkan untuk mereka.
Padahal, domestikasi itu tidak pernah netral. Ia menyisakan luka: kelelahan harian yang tidak dibicarakan, tekanan psikologis karena hilangnya ruang aman, dan keterputusan perempuan dari ekosistem yang sebelumnya tumbuh bersamanya. Dalam kerangka ekofeminisme, domestikasi adalah bentuk kekuasaan ekologis dan gender yang dibungkus dengan narasi konservasi dan pembangunan. Ia tidak hanya mengatur ruang hidup, tetapi juga merancang siapa yang layak didengar dan siapa yang hanya boleh diam sambil bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana. (2022). Tracking Kebijakan Revitalisasi Rawa Pening dan Analisis. Semarang: BBWS Pemali Juana.
Dewi, S. (2015). Ekofenomenologi: Kritik atas Antroposentrisme dan Ketiadaan Relasi Etis dengan Alam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewi, S. (2020). Ekofenomenologi dan Politik Etis Lingkungan. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
James, S., & Dalla Costa, M. (1972). The Power of Women and the Subversion of the Community. Bristol: Falling Wall Press.
Marx, K. (1990). Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1 (B. Fowkes, Trans.). London: Penguin Classics. (Original work published 1867)
Paramaditha, I. (Ed.). (2021). Membicarakan Feminisme. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2018 tentang Tata Cara Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (beserta perubahannya).
Peraturan Menteri PUPR No. 365/KPTS/M/2020 tentang Penetapan Garis Sempadan Danau Rawa Pening.
Saraswati, M. D. (2019). Ekofeminisme: Kritik Atas Relasi Eksploitatif Manusia dan Alam dalam Pembangunan. Jurnal Sosiologi Reflektif, 13(1), 89–104. https://doi.org/10.14421/jsr.v13i1.1519
Sitorus, M. (2007). Perempuan dan Lingkungan Hidup: Kajian Feminisme Ekologis dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Shiva, V. (1988). Staying Alive: Women, Ecology, and Development. London: Zed Books.
Suryakusuma, J. (1996). State Ibuism: Konstruk Sosial Perempuan Indonesia.
Jakarta: Kompas.
Walby, S. (1990). Theorizing Patriarchy. Oxford: Basil Blackwell. Yayasan Jurnal Perempuan. (2021). Perempuan dan Krisis Ekologis: Kajian Gender atas Bencana dan Perubahan Iklim. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

